Laman

Senin, 09 Agustus 2010

MERETAS SINERGITAS ILMU PENGETAHUAN, FILSAFAT DAN AGAMA DALAM MEMBANGUN PERADABAN MANUSIA

Oleh: Moh. Ridho/09750022, Erfan/09750010, Halimsyah/09750013 (SIAI-PPs.UIN Malang)

1. Prolog
Peradaban manusia sepanjang sejarah memang tidak terlepas dari aspek filsafat, ilmu pengetahuan dan agama. Dinamika kehidupan dan peradaban manusia diibentuk oleh ketiga aspek tersebut. Ketiga aspek tersebut menjadi sumber denyut perkembangan dan perubahan tatanan dalam semua aspek kehidupan. Pasang surutnya bangsa-bangsa di dunia sangat dipengaruhi oleh perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan dan agama serta bagaimana sinergitas ketiganya dalam membangun peradaban manusia. Peradaban barat, timur maupun peradaban yunani berkembang dan besar karena mampu merekontruksi peradabannya dari ketiga aspek tersebut. Sudah menjadi hukum alam perubahan, bahwa tanpa trisula tersebut hampir mustahil suatu masyarakat suatu peradaban bisa berdiri kokoh menatap masa depannya dan bersaing dengan peradaban lain.

2. Pengertian Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Agama
Dari segi maknanya, pengertian ilmu sepanjang yang terbaca dalam pustaka menunjuk sekurang-kurangnya tiga hal, yakni pengetahuan, aktivitas, dan metode. Dalam hal yang pertama dan ini yang terumum, ilmu senantiasa berarti pengetahuan (knowledge). Diantara para filosof dari berbagai aliran terdapat pemahaman umum bahwa ilmu adalah sesuatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan (any sistematic body of knowledge). Seorang filosof yang meninjau ilmu, John G. Kemeny juga memakai istilah ilmu dalam arti semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah (all knowledge collecte by means of the scientific method). Seorang ilmuwan memberikan pengertian ilmu sebagai pengetahuan bahwa ilmu menunjuk pertama-pertama pada kumpulan-kumpulan yang disusun secara sistematis dari pengetahuan yang dihimpun tentang alam semesta yang melulu diperoleh melalui teknik-teknik pengamatan yang obyektif. Dengan demikian, maka isi ilmu terdiri dari kumpulan-kumpulan teratur yang berkenaan dengan informasi pengetahuan.
Sebagai aktivitas, ilmu diartikan sebagai rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun penerapan. Oleh karena ilmu dapat dipandang sebagai suatu bentuk aktivitas manusia, maka dari makna ini orang dapat melangkah lebih lanjut untuk sampai pada metode dari aktivitas itu.
Menurut Prof. Harold H. Titus , banyak orang telah mempergunakan istilah ilmu menyebut suatu metode guna memperoleh pengetahuan yang obyektif dan dapat diperiksa kebenarannya. Sebagai metode, ilmu didefinisikan sebagai suatu cara yang teratur untuk memperoleh pengetahuan dari pada sebagai kumpulan teratur dari pengetahuan. Intisari dari pengertian itu bahwa ilmu merupakan suatu metode.
Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli, diantaranya adalah :
- Ralph Ross dan Ernest Van den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sitematik, dan keempatnya serentak.
- Karl person, mengatakan ilmu adalah lukisan keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah sederhana.
- Harsojo, guru besar antropologi di universitas pajajaran menerangkan bahwa ilmu adalah 1) merupakan akumulasi pengetahuan yang disitematisasikan 2) suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia.
Dekat dengan ilmu pengetahuan adalah filsafat. Bahkan filsafat sejenis pengetahuan yang punya sistem tersendiri, berbeda dengan sistem pengetahuan biasa dan sistem pengetahuan ilmiah. Filsafat adalah sejenis pengetahuan yang didapatkan melalui pemikiran yang mendalam, kritis dan universal. Peng tahuan yang mendalam adalah jawaban dari esensi atau hakikat dari sesuatu, seperti hakekat kebenaran, hakekat manusia, hakekat keadilan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, jawaban pertanyaan yang dikemukakan tidak lagi seperti yang ditangkap oleh pancaindera. Pengetahuan yang sangat mendalam tentang alam dan kehidupan ini biasanya tidak lagi bersifat fisik, konkret atau tangible, tetapi sudah bersifat metafisik, dan sangat abstrak. Metafisik lebih dalam dari pengetahuan yang latent tentang alam dan manusia yang menjadi tujuan pengtahuan ilmiah yaitu teori-teori tentang alam dan manusia. Kalau pengetahuan biasa adalah pengungkapan gejala alam dan kehidupan yang manifest, yang konkret, fisik atau tangible., filsafat adalah pengetahuan tentang alam,manusia, wujud dan kebenaran yang metafisik, sangat abstrak dan hakiki.
Prof. Dr. Fuad Hassan berpendapat, bahwa filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal; radikal dalam arti mulai radixnya sesuatu gejala; dari akarnya sesuatu yang hendak dipermasalahkan. Dan dengan jalan penjajagan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan universal. Dengan bahasa yang berbeda, Harun Nasution mengatakan, bahwa filsafat adalah berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.

3. Tinjauan Tentang Tiga Penyangga Filsafat Ilmu
a. Ontologi
Ontologi adalah hakikat “yang ADA (Being, Sein” ) yang merupakan asumsi dasar bagi siapa yang disebut kebenaran atau kenyataan menninjau persoalan ontologis berarti menyelediki sifat dan realitas dengan refleksi rasional, analisis, dan sintesis logikal.
Dengan demikian secara ontologis, ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Sedangkan objek penelaahan yang berada dalam daerah pra-pengalama, seperti penciptaan manusia, atau pasca pengalaman seperti hidup sesudah mati, tidak menjadi objek pembahasannya.
Terdapat tiga pertanyaan pokok dalam ontologi : (1) apakah yang ada itu? (2) dimanakah yang ada itu? (3) bagaimanakah yang ada itu?. Spekulasi para filosof untuk menjawab pertanyaan itu melahirkan bbeberapa aliran. Menurut Sutan Takdir Alisyahbana, aliran ontologi terbelah menjadi dua golongan besar , yaitu :
1. Ontologi yang membahas kuantitas (jumlah)
2. Ontologi yang membahas kualitas (sifat).

b. Epistemologi
Menurut tinjauan etimologis, epistemologi berakar kata dri bahasa yunani, epistem, yang berarti pengetahuan. Dari sini memunculkan formulasi bahwa epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidki asal mula, susunan, metode-metode, dan sahnya pengetahuan.
Terdapat tiga persoalan dalam bidang ini, yaitu (1) apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimanakah kita mengetahui? (2) apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita, kalau ada apakah kita dapat mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomenal apperance) versus hakikat (noumenal essence) (3) apakah pengetahua kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dan yang salah? Persoaln-persoalan ditujukan untuk mengkaji kebenaran atau melakukan verifikasi.
Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama, idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalisme, yakni suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal, idea, category, form, sebagai sumber ilmu pengetahuan. Menurut aliran ini, hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat sebagai pengetahuan ilmiah. Sementara itu, peranan pengalaman pada konteks ini hanya dapat digunakan untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapat oleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menderivasi atau menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti
Aliran epistemologi yang kedua adalah empirisme. Dalam sejarah filsafat, aliram empirisme dimunculkan oleh Aristoteles sebagai reaksi terhadap Plato tentang ide-ide bawaan. Aristoteles tidak mengakui adanya dunia ide yang berada di luar benda-benda konkret atu empirik. Hukum-hukum dan pemahaman yang bersifat universal bukan hasil bawaan sejak lahir, tapi hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai melalui proses pengamatan empirik manusia secara panjang, Aristoteles menyebut proses ini sebagai proses abstraksi. Berbeda dengan kaum rasionalis, kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia hanya bisa didapatkan lewat pengalaman yang konkret. Gejala-gejala alamiah dianggapnya bersifat konkret sehingga dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera.

c. Aksiologi
Bidang garapan filsafat ilmu yang ketiga adalah aksiologi. Aksiologi adalah ilmu pengetahuan menyelediki hakikat nilai secara umum dengan menggunkan sudt pandang kefilsaftan. Secara praktis, aksiologi ini mempertanyakan untuk apa pengetahuan ini? ialah satu hasil dan penelitian kefilsafatan tentang nilai itu ialah pembedaan antara yang bernilai dan yang diberi nilai: antara nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik atau instrumental; anatara keharusan dan kenyataan.
Dalam kajian aksiologi ini, kita akan dihadapkan pada pilihan moral tatkala mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan ketika dihadapkan dengan pilihan moral pada saat menerapkan teknologi terbelah menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang berpandangan bahwa sains bernilai objektif dan merupakan upaya yang bebas nilai, yakni bersifat netral terhadap nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis. Tugas ilmuan hanyahlah menemukan pengetahuan, sedangkan penerapannya terserah pemakainya. Kedua, golongan yang berpendirian bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan pada tingkat penggunaan atau pada tingkat pemilihan objek, penelitian harus disandarkan pada asas-asas moral.
Filsafat juga hasil pemikiran yang kritis dari seorang filsuf. Artinya, dalam berpikir dan menyimpulkan suatu pendapat, ia sangat kritis, tidak mengikut saja kepada pendapat siapapun, baik dari kalangan budayawan, cendekiawan, maupun dari kalangan ahli agama dan filsuf terdahulu. Karena itu, suatu pemikiran yang baru ditampilkan biasanya merupakan antitesisis atau kritik terhadap pemikiran yang telah mapan dan tertanam luas sebelumnya. Karena itu pengetahuan filosofis juga bersifat spekulatif, tidak didasarkan kepada bukti-buktidan alasan yang tahan uji. Tidak seperti pengetahuan ilmiah yang harus terbukti secara ilmiah, seperti lolos uji statistik atau uji kualitatif.
Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua macam obyek, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Adapun objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif. Filsafat sebagai proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Sedangkan objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal , dan rasional tentang segala yang ada.
Secara historis ilmu berasal dari kajian filsafat karena awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini secara sistematis, rasional, dan logis termasuk yang empiris. Karena itu, filsafat oleh para filosof disebut induk ilmu. Sebab, dari filsafatlah, ilmu-ilmu modern dan kontemporer berkembang, sehingga manusia dapat menikmati ilmu sekaligus buahnya yaitu, teknologi.
Ilmu pengetahuan berkembang pesat hingga melahirkan cabang-cabang ilmu baru, memang berawal dari rumus filsafat dengan berlandaskan tiga tiang penyangganya yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologinya. Ketiga tiang penyangga inilah yang membingkai dan merumuskan ilmu pengetahuan secara filosofis sehingga menjadi landasan kuat dalam melakukan pengembangan yang sangat berarti.
Ilmu sebagai objek kajian filsafat sepatutnya mengikuti alur filsafat, yaitu objek material yang didekati lewat pendekatan radikal, menyeluruh, dan rasional. Begitu juga sifat pendekatan spekulatif dalam filsafat sepatutnya merupakan bagian dari ilmu karena ilmu dilihat pada posisi yang tidak mutlak sehingga masih ada ruang untuk berspekulasi demi pengembangan ilmu itu sendiri.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah :
1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata
3. Upaya untuk menetukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan : hakikatnya, keabsahan dan nilainya.
Agama adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok yang dibahas dalam agama adalah eksistensi Tuhan, manusia dan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya merupakan aspek metafisika, sedangkan manusia sebagai makhluk dan bagian dari benda alam termasuk dalam kategori fisika. Dengan demikian filsafat membahas agama dari segi metafisik dan fisik.
Sementara Durkheim berpendapat bahwa agama adalah alam gaib yang tidak dapat diketahui dan tidak dapat dipikirkan oleh akal manusia sendiri. Tegasnya agama adalah suatu bagian dari ilmu pengetahuan yang tidak dapat diperoleh dengan tenaga pikiran saja.
Ditinjau dari objek material filsafat, agama adalah objek dalam dimensi metafisik dan fisik. Sedangkan ditinjau dari objek formalnya adalah sudut pandang yang menyeluruh, obyektif , bebas, radikal tentang pokok-pokok ajaran agama. Yang dimaksud pendekatan menyeluruh adalah usaha menjelaskan pokok-pokok agama secara umum, tidak mengenai ajaran agama tertentu. Pendekatan menyeluruh juga berarti suatu proses untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang suatu masalah yang dibahas. Agama tidak dibahas secara parsial dan terpilah-pilah, tetapi mencakup semua pemikiran dan ajaran.
Pengertian agama secara terminolgis:
1. Dalam kepustakaan bahasa arab terdapat pengertian agama : “suatu peratura Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal memegangi peraturan itu dengan kehendaknya sendiri untuk mencapai kebaikan hidup dan kebahagiaan .diakhirat.
2. Dalam Ensiklopedi nasional terdapat penjelasan tentang agama sebagai berikut : agama adalah aturan atau tata cara hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Itulah definisi yang sederhana. Definisi yang sempurna dan lengkap tak pernah dapat dibuat. Agama dapat mencakup tata tertib, upacara, praktek, pemujaan, dan kepercayaan kepada Tuhan. Sebagian orang menyebut agama sebagai tata cara pribadi untuk dapat berhubungan dengan Tuhannya. Agama juga disebut sebagai pedoman manusia, bagaimana ia harus berpikir, bertingkah laku, dan bertindak, sehingga tercipta sutu hubungan serasi antara manusia dan hubungan erat dengan Yang Maha Pencipta.
3. Sidi Gazalba, dalam memberikan deskripsi tentang pengertian agama atau religi, menjelaskan sebagai berikut : religi adalah kecenderungan rohani manusia, yang berhubungan dengan alam semsta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir, hakekat dari semuanya itu. Religi mencari nilai makna dalam sesuatu, yang berbeda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Karena itulah dikatakan bahwa religi itu berhubungan dengan yang kudus. Manusia mengakui adanya dan bergantung mutlak pada yang kudus, yang dihayati sebagai tenaga di atas manusia dan di luar kontrolnya, untuk mendapatkan pertolongan daripadanya, manusia dengan cara bersama-sama menjalankan ajaran, upacara, dan tindakan dalam usahanya itu. Dari pengertian di atas jelas bahwa eksistensi agama lebih kepada dogma yang bersifat ketuhanan, suci dan sakral dan tanpa reserve. Meskipun bukan berarti agama tidak rasional. Dalam aspek tertentu agama sangat mendukung pendayagunakan akal untuk mencapai kebenaran.

4. Relasi Ilmu pengetahuan, Filsafat dan Agama
Anugerah akal pikiran yang menjadi titik pembeda signifikan manusia dengan makhluk lainnya membuat manusia menciptakan pruduk-produk pemikiran yang luar biasa untuk tujuan hidupnya. Manusia diidentifikasi sebagai makhluk simbolik (symbolicum animal) yang mampu menciptkan sistem symbol dalam hidup dan berinteraksi dengan sesamanya yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sistem symbol yang terbentuk dalam cara mengungkapkan dan mengekspresikan keinginan, minat, dan tujuan hidupnya.
Cara manusia mencari dan menemukan kebenaran itu ada tiga macam, yaitu dengan agama, filsafat, dan dengan ilmu pengetahuan. Antara satu dengan lainnya mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik singgung. Dari ketiga titik tersebut kita dapat menganalisa bagaimana sebenarnya pemetaan dan gambaran yang sesungguhnya ketiganya dalam menentukan kebenaran.
Titik persamaan antara ketiga-ketiganya adalah bahwa baik agama, filsafat maupun ilmu setidak-tidaknya bertujuan atau berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran agama, dengan wataknya sendiri, memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia. Baik tentang Tuhan, manusia maupun alam. Filsafat, dengan wataknya sendiri, berusaha mencari kebenaran baik tentang alam, manusia (yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu, dan ilmu pengetahuan, dengan wataknya atau metodenya sendiri pula, mencari kebenaran tentang alam dan termasuk di dalamnya manusia.
Titik perbedaan antara ketiga-tiganya adalah bahwa agama bersumber dari wahyu Allah, sehingga kebenarannya mutlak; sedangkan filsafat dan ilmu pengetahuan bersumberkan ra’yu (akal, budi, rasio) manusia, sehingga kebenarannya nisbi (relative) di samping itu, manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban tentang) berbagai masalah asasi dari kitab suci, kodifikasi firman ilahi untuk manusia di atas bumi ini, filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (menggambarkan atau mengelanakan) akal budi secara radikal, integral, dan universal, tidak merasa terikat oleh ikatan tertentu. Dan ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan riset, empiri (pengalaman) dan eksperiman.
Adapun titik singgung ketiga-tiganya adalah bahwa tidak semua masalah yang dipertanyakan manusia dapat dijawab secara positif oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu itu terbatas, dalam arti terbatas oleh subjek (penyelidikan), objeknya (objek material ataupun objek formal, dan oleh metodologinya). Tidak semua masalah yang tidak atau belum terjawab oleh ilmu kemudian dengan sendirinya dapat dijawab oleh filsafat, karena jawaban filsafat sifatnya spekulatif dan juga alternatif, sedangkan agama memberikan jawaban tentang masalah asasi yang sama sekali tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan dan yang dipertanyakan namun tidak terjawab secara bulat oleh filsafat.
Akibat sistem ilmu pengetahuan yang dipisahkan dari rasa dan hati nurani, dari budaya dan nilai-nilai agama, lahir masyarakat sekular yang berpikiran lebih pendek (hanya untuk dunia) dari orang yang beragama (berpikiran ada akhirat yang kekal abadi) kalau moral dan keyakinan sebagai sama-sama makhluk Tuhan dengan manusia dan lingkungan hidup sudah tidak ada, tentu sumber daya alam dikuras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai. Manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang sekuler (mungkin saja secara formal dan beragama) juga bersifat rakus dan egois. Alam dengan hutan, air, udara, dan hewannya tercemar, dan tidak mampu bertahan lebih lama lagi karena ulah manusia yang punya ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa agama dan moral.

5. Ilmu Pengetahuan, Filsafat, Agama dan Masa Depan Peradaban Manusia
Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda , namun pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedapankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subyektif. Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terikat dengan etika, progresif, bersifat inklusif, dan obyektif. Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya memiliki persamaannya, yakni tujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia. Agama memberi ketenagan dan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati, sedangkan ilmu memberi ketenangan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia.
Agama mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, hampir semua kitab suci menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak mungkin. Agama dan ilmu sama-sama memberikan penjelasan. Ketika terjadi bencana alam, seperti banjir dan gempa bumi. Gempa dalam konteks agama adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangan-Nya tentang alam secara keseluruhan. Oleh karena itu manusia harus bersabar atas cobaan tersebut dan mencari hikmah yang terkandung dibalik setiap bencana. Adapun menurut ilmu, gempa bumi terjadi akibat pergeseran lempengan bumi atau tersumbatnya lava gunung berapi. Oleh karena itu, para ilmuwan harus mencari ilmu dan teknologi untuk mendeteksi kapan gempa akan terjadi dan bahkan kalau perlu mencari cara mengatasinya.
Karakteristik agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat dalam konteks bersebrangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimanan keduanya bersinergi dalam membantu kehidupan manusia yan lebih layak. Contohnya ilmu dan teknologi mampu mengantarkan manusia, hidup dalam tataran global, yang juga sering disebut dengan era informasi, tetapi kehidupan yang global itu pula yang menyengsarakan sebagian besar penduduk di kulit bumi ini. Akibat dari kemajuan teknologi informasi, masyarakat miskin di daerah tertentusemakin transparan, sebaliknya orang yang super kaya juga terlihat dengan kasat mata. Tidak hanya persoalan miskin dan kaya yang kasat mata, tetapi persoalan politik sampai hiburan bahkan aktivitas nyamuk di hutan belantara sungai amazon di amerika latin pun dapat ditonton.
Krisis epistemologi dalam keilmuan modern saat ini, telah memunculkan berbagai upaya untuk mengembalikan peran dan keterlibatan agama dalam ilmu. Beragam konsep integrasi ilmu dan agama yang ditawarkan oleh banyak pakar tidak lain dilandasi oleh keprihatinan karena hilangnya aspek spiritualitas dalam ilmu. Konsep kebenaran ilmu dan kriteria ’ilmiah’ telah didominasi oleh paham positivisme, yaitu bahwa yang rasional, empiris, measurable, dan eksperimental sajalah yang dikatakan ilmiah. Perasaan, intuisi, bahkan wahyu telah dipinggirkan dan berada di luar wilayah ilmiah dan hanya dikategorikan sebagai gejala psikologis yang bersifat subjektif saja.
Positivisme memahami alam hanya sebagai fenomena fisik saja. Alam semesta tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang memiliki tujuan dan bersifat spiritual, namun hanya dilihat sebagai fenomena benda-benda. Bagi masyarakat tradisional, alam dipahami sebagai realitas simbol-simbol dan memiliki makna spiritual. Sedangkan, positivisme yang merupakan ruh bagi modernisme telah mencabut spiritualitas itu dan memposisikan alam sebagai objek eksploitasi saja.
Bruno Guiderdoni mengutip kata-kata Claude Levi-Strauss “alam semesta hanya memiliki makna dalam kaitannya dengan manusia, padahal manusianya telah kehilangan makna”.. Manusia modern telah mereduksi potensi dirinya hanya sebagai homo sapiens (hewan berfikir) dalam arti yang sebenarnya dan mengesampingkan potensi spiritualitasnya (homo religiousus). Dalam perkembangan keilmuan di Barat, causa efisien telah menyisihkan causa finalis dan berusaha melenyapkannya, yaitu dimulai sejak Renaissans, secara progresif terjadi penggantian sudut pandang dari perspektif yang causa finalis menjadi causa efisien (Guiderdoni, 2004: 127).
Keilmuan modern, bukan hanya ingin memisahkan ilmu dari agama (sekularisme), namun lebih jauh ingin menggantikan agama dengan ilmu. Ilmu ditempatkan sebagai satu-satunya penafsir realitas dan kebenaran, dan menjadi sistem pandangan dunia yang menye-luruh sebagaimana dilakukan saintisme.
Pandangan neo-positivisme yang disebarkan oleh kelompok ilmuwan dan filsuf yang dikenal sebagai Lingkungan Wina (Wiener Kreis) pada abad ke-20 telah mempersoalkan demarkasi antara pernyataan yang bermakna dan yang tak bermakna. Menurut mereka, hanya pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya secara objektif yang bermakna. Inilah yang disebut sebagai ‘asas verifikasi’. Dengan demikian pernyataan tentang keindahan surga, kengerian neraka dan kemahaesaan Tuhan merupakan pernyataan yang tidak bermakna, karena secara empiris tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Thomas Kuhn dalam analisisnya tentang sejarah perkembangan ilmu menunjukkan bahwa perkembangan ilmu tidak berlangsung linier, homogen dan rasional (dalam arti akumulatif dan progresif), namun melalui revolusi yang membongkar paradigma lama dan menggantikan dengan yang baru. Apa yang dianggap benar dalam paradigma lama akan mengalami krisis sampai ditegakkan paradigma baru dengan kebenaran-kebenaran baru di dalamnya. Perubahan paradigma dalam sejarah ilmu tidak termasuk wilayah logis hukum alam, melainkan terjadi seperti proses ‘metanoia’ (pertobatan) dalam agama. Satu teori yang didasarkan atas satu paradigma tertentu tidak dapat dibandingkan dengan teori yang berdasar atas paradigma yang lain.
Kuhn juga mengajukan gugatan atas paradigma positivisme ilmu modern. Berbagai teori ilmu modern menurutnya telah gagal dalam mengungkap misteri yang berada di balik fenomena dan gejala ilmu. Ilmu modern telah menyisakan banyak persoalan dalam kehidupan sehingga meniscayakan perlunya perubahan paradigma dalam ilmu modern.
Pandangan ontologis yang integratif-interdependentif antara ilmu dan agama secara epistemologis akan menghasilkan konsep hubungan ilmu dan agama yang integratif-komplementer. Sumber kebenaran ilmu tidak hanya rasio dan empiri, namun juga intuisi dan wahyu. Keempat sumber ilmu tersebut saling melengkapi satu sama lain. Dimasukkannya intuisi dan wahyu sebagai sumber ilmu memberikan konsekuensi yang sangat besar bagi diterimanya kebenaran agama.
Apabila keempat sumber kebenaran tersebut dipahami sebagai cara mendapatkan kebenaran, maka cara tersebut harus pula disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai, kesalahan dalam penggunaan cara dapat pula mengakibatkan kesimpulan yang salah (sesat pikir). Sebagai contoh untuk memahami keberadaan Tuhan tidaklah tepat menggunakan empiri. Penggunaan empiri ini justru akan menghasilkan kesimpulan bahwa Tuhan tidak perlu dipercayai karena indera tidak dapat membuktikan keberadaannya. Demikian pula pengembangan ilmu komputer, misalnya, tidak mungkin diperoleh melalui wahyu karena tidak ada ayat yang secara eksplisit menjelaskan rumus-rumus komputer.
Pandangan demikian tidak berarti secara metodologis terjadi dikotomi antara ilmu dengan agama. Keseluruhan sumber kebenaran (rasio, empiri, intuisi dan wahyu) tetap digunakan sesuai dengan porsinya. Dalam kasus memahami keberadaan Tuhan, metode empiris maupun rasional juga memiliki peran penting dalam menunjukkan bukti-bukti empiris maupun rasional tentang keberadaan Tuhan.
Berangkat dari prinsip dasar bahwa hubungan ilmu dan agama secara ontologis bersifat integratif-interdependentif, dan secara epistemologis bersifat integratif-komplementer, maka secara aksiologis ilmu dan agama dapat dikatakan memiliki hubungan yang integratif-kualifikatif. Artinya nilai-nilai (kebenaran, kebaikan, keindahan dan keilahian) secara simultan terkait satu sama lain dijadikan pertimbangan dalam pengembangan ilmu.
Pandangan ini tentu berlawanan dengan empirisisme logis yang dipelopori oleh Ludwig Wittgenstein melalui karyanya Tractatus Logico-philosophicus. Paham ini hanya mau menerima proposisi yang bersifat empiris dan menganggap bahwa proposisi metafisis sama sekali tidak bermakna karena tidak menegaskan sesuatu, sehingga tidak dapat dikatakan benar atau salah. Pernyataan ’pemandangan itu indah’ merupakan pengungkapan kondisi emosional yang sama sekali tidak memiliki isi teoretis atau kognitif. Menurut paham ini hanya nilai kebenaran logis yang dapat diterima, sedangkan nilai keindahan, kebaikan dan keilahian karena tidak dapat menunjukkan ukuran-ukuran objektifnya, maka merupakan proposisi yang tidak bernilai.
Pandangan bahwa ilmu adalah bebas nilai sebagaimana diyakini empirisme logis di satu sisi telah mengakselerasi secara cepat perkembangan ilmu, namun di sisi yang lain telah menghasilkan dampak negatif yang sangat besar. Berbagai problem keilmuan terutama aplikasinya dalam bentuk teknologi telah menghasilkan beragam krisis kemanusiaan dan lingkungan yang luar biasa, oleh karena diabaikannya berbagai nilai di luar nilai kebenaran.
Ilmu juga perlu dibedakan dengan penerapannya. Ilmu yang digunakan untuk mencelakai manusia, misal dalam dunia modern: diterapkan untuk pembuatan senjata pemusnah masal, dan dalam masyarakat tradisional: santet; dari segi esensi keilmuannya adalah Ilmu Tuhan, namun ilmu bersentuhan dengan manusia yang memiliki kebebasan tindakan, sehingga ilmu –dari aspek nilai keilahiannya- adalah baik, namun dalam tingkatan ‘nilai insaniahnya’ dapat digunakan oleh manusia untuk kejahatan.
Oleh karena itu, ilmu dalam konteks aksiologi harus melakukan gerak substansial menuju kepada nilai ilahiah agar ilmu tidak diselewengkan untuk tindakan-tindakan yang merugikan. Pengembangan ilmu tidak cukup hanya mempertimbangkan nilai kebenaran saja, namun tetap harus mempertimbangkan nilai kebaikan, nilai keindahan dan nilai keilahian.
Perumusan yang berkaitan dengan “bebas nilai” dikemukakan ketika usaha dalam ilmu pengetahuanmau mencapai obyektivitas maksimal. Paham “bebas nilai” diperlukan untuk menjaga sikap agar tidak mempunyai bias dan unsur tidak memihak. Paham “bebas nilai” tersebut dapat disangkal mengingat upaya ilmiah yang dilakukan ada dalam kerangka tujuan tertentu.
Dengan demikian, upaya ilmiah mengandaikan nilai-nilai tertentu yang melatarbelakanginya. Pengandaian nilaipun akan berlangsung ketika sampai pada aplikasi ilmu dan teknologi. Sedangkan pemikiran metafisika diperlukan agar penjelasan dan dasar logikanya mampu melampaui realitas sehingga terbangun penalaran yang berdasar pada paham dasar pemikiran yang melatarbelakanginya. Hal-hal itulah yang muncul tatkala berlangsung perbenturan antara ilmu sakral dan ilmu sekuler sehingga mencari kemungkinan berbagai pemikiran sebagai jalan keluar.
Sistem budaya dan peradaban modern adalah kelanjutan atau perkembangan lebih lanjut dari kehidupan budaya manusia pada tahap positif . sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa kehidupan budaya positif ditandai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendominasi, menentukan, dan mewarnai kehidupan sosial budaya manusia.
Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih, manusia merasa mampu hidup mandiri dan menolak pengaruh, kontrol yang berasal dari agama. Agama tidak lagi mempunyai peran dan fungsi sebagai pengarah dan pengendali terhadap perkembangan kehidupan sosial budaya manusia. Akibatnya berkembanglah kehidupan sosial budaya sekuler secara bebas, di bawah pengaruh dan rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, menjadi sistem budaya dan peradaban modern.
Sistem kehidupan sosial budaya dan peradaban modern sekarang ini sangat potensial untuk tumbuh dan berkembangnya situasi dan kondisi problematis bahkan kritis, yang eksisitensi manusia dan kemanusiaannya. Untuk bisa keluar dari kondisi problematis dan kritis tampaknya memerlukan intervensi nilai-nilai universal dan adanya kekuatan atau daya kendali dan kontrol ke dalamnya nilai-nilai universal berfungsi untuk memadukan dan mensinkronkan tujuan-tujuan sementara dan kondisional antara kelompok masyarakat/bangsa, sehingga bisa dihindari terjadinya konflik antar kelompok masyarakat/bangsa tersebut. Sedangkan kekuatan pengontrol/pengendali berfungsi untuk mengendalikan berbagai kebebasan yang merupakan ciri dari sistem budaya dan peradaban modern tersebut, untuk menjadi kebebasan yang bertanggungjawab.
Untuk memerankan dan menjadikan agama sebagai bagian integral dalam sistem budaya dan peradaban modern, yang ditandai dengan kemajuan di bidang iptek yang canggih, maka masyarkat modern harus memiliki dan mampu mewujudkan : (1) kebutuhan atau kepercyaan kepada Tuhan dengan segala atributnya; (2) hubungan yang personal dan intim dengan Tuhan; (3) doktrin tentang fungsi sosial ilmu pengetahuan dan teknologi: tujuan hidup bukanlah sekedar meraih kemauan di bidang iptek serta efek pengiringnya, tetapi pada cara penggunaan serta arahnya yang jelas untuk kemaslahatan hidup manusia dan alam sekitarnya dalam rangka mengabdi kepada-Nya dan mengenai tanda-tanda kekuasaan-Nya; (4) pengakuan yang pasti akan adanya hal-hal yang tidak bisa didekati secara empiris dan induktif, melainkan dengan cara deduktif dan “percaya” dan (5) kepercayaan akan adanya kehidupan lain sesudah kehidupan historis (dunia) ini yang lebih tinggi nilainya. Kelima hal terbsebut, diharapkan dapat dijadikan pangkal tolak penelaahan dan perenungan bagi masyarakat/bangsa modern, guna mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh sistem budaya dan peradaban modern.

6. Epilog
Perbedaan masing-masing karakteristik ilmu pengetahuan, filsafat dan agama tidak menghambat upaya meretas sinergitas ketiga aspek tersebut dalam grand design membangun peradaban manusia yang kreatif dan produktif. Dengan ciri khas yang dimilikinya, seharusnya menjadi sebuah titik integrasi yang mampu mendayagunakan potensi masing-masing dalam membangun masa depan manusia ke arah yang lebih baik.
Tentunya proyeksi ideal tersebut membutuhkan sentuhan tangan-tangan intelektual muslim yang bertanggungjawab dan memiliki visi yang jelas dengan mengintegrasikan dan mensinergikan kekuatan ilmu pengetahuan, filsafat dan agama terutama bagaimana menciptakan peradaban manusia seperti sekarang ini. Jika ketiganya tidak berinteraksi satu sama lain dan cenderung berjalan sendiri –sendiri maka dipastikan gerak laju peradaban akan timpang tidak memiliki tujuan yang hakiki sesuai nilai-nilai kemanusian Kejayaan umat islam pada abad pertangahan lalu membuktikan bahwa ketiga trisula tersebut bisa berjalan seirama dalam orkestra Dalam peradaban yang benar-benar agung.



DAFTAR PUSTAKA

Agus Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009.

Khun, Thomas, Peran Paradigma dalam revolusi Sains, Bandung : PT. Remaja Rostakarya, 1989.

Kuswanjono, Arqom, Makalah Paradigma Keilmuan Integralistik, Pidato Dies Natalis XXXXI Fakultas Filsfat Universitas Gadjah Mada, 2008.

Muhaimin et all, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta : Kencana, 2005.

Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Liberty, 2007.

Zubaedi, Islam dan Benturan antar peradaban, Yogyakarta : Ar Ruz Media, 2007

Minggu, 08 Agustus 2010

TEOLOGI KETATANEGARAAN

Oleh: Moh.Ridho.09750022/M.Talhah. 09750023 (SIAI.PPS.UIN.Malang)

A.    PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Sistem khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh toretorial, sehingga kekhalifahan Islam meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan yang mempersatukan kekhalifahan adalah Islam sebagai agama. Dalam bahasa Ibnu Khaldun, kekhalifahan merupakan kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Allah dan memikul dakwah Islam ke seluruh dunia. Menegakkan khalifah adalah kewajiban bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, sehingga melalaikan berdirinya kekhalifahan merupakan maksiat (kedurhakaan) yang disiksa Allah dengan siksaan yang pedih.[1]
Dalam pandangan ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dengan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara betul-betul organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam tipologi ini, Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik.
Setelah meninggalnya Rasulullah, para sahabat sepakat untuk mendirikan khilafah, meski mereka berbeda pendapat tentang orang yang akan dipilih sebagai khalifah, tetapi mereka tidak berbeda pendapat secara mutlak mengenai berdirinya kekhalifahan. Oleh karena itu kekhalifahan adalah penegak agama dan sebagai pengatur soal-soal duniawi dipandang dari segi agama.
Hubungan Negara dan tatanegara sangat erat dan satu sama lain saling menopang dalam mengoptimalkan pencapaian tujuan kenegaraan. Al-Qur'an sebagai seperangkat aturan dan nilai-nilai yang mengatur hubungan kehidupan manusia dengan menusia lainnya. Peraturan tersebut tertuang dalam suatu institusi Negara yang dapat dijadikan batasan berhubungan sosial. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur'an, kemudian menjadi roh dasar utama dari perangkat peraturan yang diciptakan. Peraturan-peraturan tersebut menyangkut hukum, ekonomi, politik dan persoalan lainnya menyangkut hasrat dan kehidupan masyarakat menuju yang lebih baik dan sejahtera.

  1. Tujuan Pembahasan
Dalam makalah ini, penyusun akan menjelaskan tentang teologi ketatangeraan, yang meliputi, sejarah ketatanegaraan dalam Al-Qur'an, Al-Qur'an dan ajaran ketatanegaraan, dan prinsip-prinsip teologi ketatanegaraan. Dengan itu, teologi ini bertujuan untuk :
  1. Ingin mengetahui sejarah ketatanegaraan dalam al-Qur'anQur’an
  2. Ingin mengetahui Al-Qur'an dan ajaran ketatanegeraan
  3. Ingin mengetahui, konsep-konsep teologi ketatanegaraan

B.     PEMBAHASAN
  1. Sejarah Ketatanegaraan dalam Al-Qur'an
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tata negara adalah seperangkat prinsip dasar yang mencakup peraturan susunan pemerintah, bentuk negara dan sebagainya yang menjadi dasar peraturan suatu negara. Ketatanegaraan adalah segala sesuatu mengenai tata negara. Menurut hukumnya, tata negara adalah suatu kekuasaan sentral yang mengatur kehidupan bernegara yang menyangkut sifat, bentuk, tugas negara dan pemerintahannya serta hak dan kewajiban para warga terhadap pemerintah atau sebaliknya. Untuk mengerti ketatanegaraan dari suatu negara pertama sekali perlu dimengerti apa itu negara: paham negara secara umum dan negara menurut bangsa Indonesia. Hubungan negara dan konstitusi akan diuraikan selanjutnya.[2]
Pengertian diatas, menghantarkan pemahaman kita tentang ketatanegaraan sebagai suatu system yang mengatur kehidupan masyarakat (rakyat) dalam kehidupan bernegara. Kehidupan bernegara dimaksudkan untuk dapat masyarakat menjalankan aktifitas kehidupannya secara baik dan berkeadilan. Asfek-asfek yang diatur dalam ketatanegaraan segala yang menyangkut hak dan kewajiban masyarakat dalam menjalankan roda pemerintahan.
Adapun system pemerintahan yang pernah dipraktikkan dalam Islam sangat terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami oleh masing-masing umat. Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke 7 Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah diperaktikkan beberapa system pemerintahan yang meliputi system pemerintahan khilafah (khilafah berdasarkan syura dan khalifah monarki), imamah, monarki dan demokrasi.
Kaum fundamentalis yang mendorong system pemerintahan khilafah adalah bagian dari model yang diyakini benar dalam sebuah Negara pada periode klasik dan pertengahan. Model Negara atau pemerintahan seperti ini justru ingin memberlakukan Islam dalam konteks Negara secara kaffah. Sifat pemikiran ini lebih literalis dan kaku dalam memahami Islam. Pemaknaan dimaksudkan adalah iklim politik yang terjadi pada masa klasik dan pertengahan adalah berbeda dari iklim politik yang terjadi saat ini.
Secara teologis, politik telah melahirkan beberapa pandangan yang berbeda dan dinamis. Perbedaan tersebut diawali dengan perbedaan pemahaman terhadap system politik yang diyakini mencapai tujuan sosiologis dan tujuan ilahiyah manusia. Perbedaan dalam memandang dasar atau ideology Negara berbeda maka secara otomatis pandangan terhadap ketatanegaraan pasti berbeda.
Secara historis, system pemerintahan yang pernah dipraktikkan dalam Islam sangat terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami oleh masing-masing ummat. Pada abad ke 7 misalnya, ummat telah mempraktikkan beberapa system pemerintahan yang meliputi system pemerintahan khilafah, imamah, monarki dan Demokrasi.[3] Berikut penting kita bahas lebih lanjut untuk mengkaitkan dengan perkembangan pemikiran Islam yang kemudian melhirkan teologi politik yang notabene terstruktur berdasarkan kebenaran yang sistematis.
Manusia dijadikan Tuhan sebagai wakil-Nya atau yang disebut khalifah di muka dunia dank arena keistimewaannya itu jugalah maka manusia dipandang oleh Rumi misalnya, sebagai tujuan akhir penciptaan alam semesta. Ibarat buah, maka sekalipun ia muncul kemudian setelah munculnya batang dan ranting, tetapi pohon itu sendiri tumbuh untuk menghasilkan buah. Sebagai halnya buah mengandung semua unsur pohon itu dalam bijinya, maka demikian juga manusia sebagai mikrokosmos mengandung semua unsur yang ada dalam alam semesta. Tentu manusia akan menjadi akhir penciptaan adalah manusia yang telah mencapai kesempurnaannya (insan kamil) yang dalam bentuk konkritnya diwakili oleh Nabi Muhammad saw sebagai contoh insane kamil (par excellent). Sebagai khalifah di muka bumi, manusia dikaruniai Tuhan dengan dua keistimewaan yaitu: yang pertama adalah kebebasan dan yang kedua adalah ilmu pengetahuan.[4]
Artinya: 17 “Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba kami Daud yang mempunyai kekuatan; Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan).” 18. “Sesungguhnya kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi,” 19. “Dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. masing-masingnya amat taat kepada Allah.” 20. “Dan kami kuatkan kerajaannya dan kami berikan kepadanya hikmah[1301]dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.”

[1301]  yang dimaksud hikmah di sini ialah kenabian, kesempurnaan ilmu dan ketelitian amal perbuatan.

Dari ayat di atas dapat mengetahui penggambaran kerajaan Daud, (yang mempunyai kekuatan), (dan Kami kekuatkan kerajaannya). Kerajaan Nabi Daud terpusat di wilayah Palestina, setelah ia menaklukkan Jalut, penguasa Palestina, dia juga menguasai bani Israil. Daud selalu menyeru kaumnya kepada jalan Allah, ia diberikan anugerah berupa fisik yang kuat, Allah memerintahkan kepadanya melakukan jihad dijalanNya. Karena, itu banyak melakukan perjalanan jihad memerangi kaum yang tidak beriman. Kemudian mewariskan kepada ananknya Nabi Sulaiman yakni kenbian, kerajaan, dan kekuasaannya yang meliputi bangsa manusia, jin dan burung-burung.

  1. Al-Qur'an dengan ajaran Ketatanegaraan

Prinsip dasar islam adalah bahwa makhluk manusia, baik secara individual maupun kelompok, harus menyerahkan semua hak atas kekuasaan, legislasi serta penguasaan atas sesamanya. Tidak seorangpun yang akan diperkenankan memberikan perintah atau aturan-aturan sekehendaknya sendiri dan tidak seorangpun yang diperkenankan untuk mengakui kewajiban untuk melaksanakan perintah atau aturan seperti ini. Tidak seorangpun diberikan hak istimewa untuk membuat undang-undang sekehendak hatinya sendiri dan tidak seorangpun yang wajib mengikatkan dirinya kepada undang-undang yang telah dibentuk dengan cara seperti itu. Hak ini hanya merupakan hak Allah:
Surat Yusuf: 40
Artinya: “Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali Hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."

Surat Al-Maidah: 44
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Menurut ayat di atas kedaulatan ada di tangan Allah. Allah sendiri yang merupakan pemberi hukum. Tujuan perintah-perintah al-Qur’an yang berkaitan dengan ini adalah bahwa manusia harus mewujudkan status sejatinya sebagai khalifah dan dengan demikian dia bertugas untuk menaati majikan-Nya di bumi. Jika manusia melakukan yang sebaliknya, maka dia akan menjadi hamba setan-musuh abadi manusia dan akan tersesat. Kekhalifahan manusia merupakan kekhalifahan umum, pada dasarnya milik manusia dan bukan merupakan milik istimewa siapapun. Tetapi karena menyiratkan arti pengakuan Tuhan sebagai pemegang kedaulatan, maka hanya orang-orang yang mengakuinya-dalam hal ini kaum muslimin-yang memiliki hak untuk menggunakannya. Inilah sebabnya mengapa dalam suatu Negara Islam kekhalifahan terbatas hanya untuk kaum muslimin, tetapi dapat dinikmati oleh semua kalangan.[5]
Kalau ada diatara umat Islam merasa wajib membentuk Negara dan pemerintahan, maka kewajiban itu bukanlah semata-mata atas dasar ijtihad dan pemikiran rasional berdasarkan  Surah An-Nisa’ ayat 59:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ibnu Taymiyah
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”

  1. Prinsip-prinsip al-Qur'an tentang Ketatanegaraan
Dari penjelasan pada sub bahsan sebelumnya, bahwa telah dipraktekkan beberapa system pemerintahan pada suatu Negara pada kondisi dan iklim politik yang berbeda pula, sehingga corak system pemerintahan yang diyakini kebenarannya pun menjadi berbeda. Maka dalam hal ini menjadi penting untuk kita bahas dalam makalah ini.
Di dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Di antaranya ayat-ayat tersebut mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat atau konsultasi, ketaatan kepada pemimpin, keadilan, persamaan dan kebebasan beragama.[6] Pada referensi yang berbeda, yang memperkuat prinsip-prinsip diatas diistilahkan dengan pilar-pilar Negara Islam, yaitu keadilan, permusyawaratan, persamaan dan akhlak mulia.[7]
Beberapa prinsip dasar diatas inilah yang penting kita coba kaji dalam kerangka membangun teologi politik Islam dari asfek ketatanegaraan yang dikembangkan oleh sebuah Negara.

1.      Musyawarah
Musyawarah merupkan salah satu prinsip yang disampaikan Islam dan dijadikan salah satu tonggak dasar penegakan Negara. Karena itulah, Islam mewajibkan pelaksanaan musyawarah  dalam seluruh masalah umum Negara, seperti pemilihan pemimpin dan para wakil rakyat, pendirian dan pengaturan dewan lembaga umum, dan pengaturan perkara umum yang berkaitan dengan politik, hokum dan pemerintahan.
Penghargaan Islam terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam musyawarah tertuang satu surat penuh dalam Al-Qur’an dengan nama Asy-Syura. Berikut salah satu ayat yang menegaskan tentang hal tersebut, yaitu:
Artinya: ِDan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura (42) : 38)
Dalam demokrasi orang mengenal istilah one man one vote. Dengan satu orang satu suara maka tak ada lagi istilah muslim atau kafir ulama atau juhala ahli maksiat atau orang shalih dan seterusnya. Semua suara bernilai sama di hadapan ‘hukum’. Walhasil keputusan terbaik adl keputusan yg diperoleh dgn suara mayoritas. Lalu bagaimana dengan sistem islam? Siapakah yg patut didengar suaranya?Dalam ketatanegaraan Islam dIkenal istilah “ahli syur”’. Posisinya yg sangat penting membuat keberadaannya tidak mungkin dipisahkan dgn struktur ketatanegaraan. Karena bagaimanapun bagusnya seseorang pemimpin ia tetap tidak akan pernah lepas dari kelemahan kelalaian atau pun ketidaktahuan dalam beberapa hal. Sampai-sampai Nabi Muhammad  diperintahkan utk melakukan syura apalagi selain beliau tentunya. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan: “Jika Allah mengatakan kepada Rasul-Nya padahal beliau adl orang yang paling sempurna akalnya paling banyak ilmunya dan paling bagus idenya– ‘maka bermusyawarahlah dgn mereka dalam urusan itu’ maka bagaimana dgn selain beliau?” Kata asy-syura adl ungkapan lain dari kata musyawarah atau masyurah yg dalam bahasa kita dikenal dgn musyawarah sehingga ahli syura adl orang yang dipercaya utk diajak bermusyawarah.
Disyariatkannya Syura Allah berfirman: “Maka bermusyawarahlah dgn mereka dalam urusan itu.” Juga Allah memuji kaum mukminin dgn firman-Nya: “Dan urusan mereka dgn musyawarah dan mereka menafkahkan sebagian yg kami rizkikan kepada mereka.” Kedua ayat mulia diatas menunjukkan tentang disyariatkannya bermusyawarah.  yg sering melakukannya dgn para sahabatnyarDitambah lagi dengan praktek Nabi  seperti dalam masalah tawanan perang Badr kepergian menuju Uhud utk menghadapi kaum musyrikin menangggapi tuduhan orang-orang munafiq yg menuduh ‘Aisyah berzina dan lain-lain.
Demikian pula para shahabat beliau berjalan di atas jalan ini. (lihat Shahih Al-Bukhari 13/339 dengan Fathul Bari) Ibnu Hajar berkata: “Para ulama berselisih dalam hukum wajibnya.” Pentingnya SyuraSyura teramat penting keberadaannya sehingga para ulama diantarnya Al-Qurthubi mengatakan: “Syura adl keberkahan.” Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: “Tidaklah sebuah kaum bermusyawarah di antara mereka kecuali Allah akan tunjuki mereka kepada yg paling utama dari yg mereka ketahui saat itu.”
2.      Ketaatan Pada Pemimpin
Ketataan kepada para pemimpin adalah salag satu prinsip yang harus dipegang dalam menata Negara yang kuat. Ketaatan yang dimaksud tidak secara totalitas, tanpa memilah taat pada konteks yang tidak terbatas. Pemimpin adalah konselor atau mediator yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam sebuah perselisihan dalam berbagai probleamtika hidup. Al-Qur’an menjelaskan hal tersebut dalam ayatnya: (QS. An-Nisaa (04) : 59)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

3.      Keadilan
Keadilan dalam perspektif Islam merupakan system yang paling dapat dibanggakan. Keadilan dalam system Islam terletak pada garis terdepan dari prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan Islam. Bukan hanya dalam masalah peradilan dan mengikis perselisihan. Tapi dalam seluruh masalah Negara, baik hokum, pemerintahan maupun politik. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firmannya: (QS. An-Nahl (16) : 90)          
Artinya: “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

4.      Persamaan
Prinsip persamaan dimaknakan bahwa setiap individu memiliki persamaan dalam hak dan kewajiban umum, sehingga tiada perbedaan di antara mereka dalam hal tersebut disebabkan oleh etnis, ras, bahasa, agama atau keyakinan.
Prinsip persamaan ini diterjemahkan ke dalam empat macam bentuk, yaitu:
1.      Persamaan dalam undang-undang, artinya semua warga negara merupakan satu kelompok dengan tanpa perbedaan dalam penerapan undang-undang.
2.      Persamaan di depan Peradilan, artinya tiada perbedaan hukum yang memutuskan perselisihan sebab perbedaan sistem masyarakat bagi individu yang meminta peradilan. Semua orang dapat diajukan ke pengadilan tanpa pembedaan di antara mereka sebab status sosial atau kedudukannya.
3.      Persamaan didepan tugas kenegaraan, artinya semua warga negara memiliki persamaan dalam memangku jabatan umum dan harus diprlakukan sama dalam syarat-syarat kepegawaian.
4.      Persamaan dalam kewajiban umum, artinya setiap warga negara harus mendapatkan haknya, maka konsekwensinya harus menjalankan kewajibannya sebagai warga negara. Firman Allah dalam QS. Al-Hujurat (49) : 13) :
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

5.      Hubungan Antar Umat dari Berbagai Agama
Islam telah membangun komitmen terhadap hubungan sebagian manusia dengan sebagian manusia yang lainnya. Hubungan inilah yang menjadi prinsip keutamaan akhlak.
Artinya: Dan Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.  (QS. Al-Qalam (68) : 3)

Dalam pandangan A. Hasjmy, manusia sebagai makhluk social dan budaya memiliki kodrat hidup bermasyarakat. Berkat bantuan akalnya, manusia berpotensi untuk mengembangkan kehidupannya melalui cara-cara hidup berpolitik dan bernegara sesuai yang diintrodusir oleh al-Quran. Hal itu menjadi suatu postulasi tentang perlunya eksistensi Negara dan pemerintahan yang bertujuan untuk  mengatur tertib hidup, baik dalam urusan keagamaan maupun urusan dunia. Dan di dalamnya tercipta suatu kekuasaan politik yang meliputi bidang hokum, social, dan ekonomi.[8]
Dalam pemikiran ahli hokum Jimly Asshiddiqie misalnya menyatakan bahwa dalam konteks Negara Republik Indonesia yang berpijak pada Pancasila dan UUD 1945 dikatakan “kedaulatan ada di tangan Rakyat” dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis permusyawaratan Rakyat. Akan tetapi jika diteliti secara mendalam terutama dengan mempertimbangkan rumusan dan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan, batang tubuh, dan penjelasannya ternyata juga mengandung ajaran kedaulatan.
Jika kedaulatan itu dimaknai sebagai konsep mengenai kekuasaan tertinggi, maka konsep mengenai ke-Mahakuasaan Tuhan yang terdapat dalam alenia ke-3 Pembukaan UUD 1945 juga merupakan konsep mengenai kekuasaan tertinggi.
Konsep kedaulatan tidak bertentangan dengan kedua konsep ke-Mahakuasaaan dan ke-Mahaesaan Tuhan. Hal ini mengingat kekuasaan Negara dalam pandangan Islam dilandasi oleh tauhid (ke-Mahaesa-an Allah) dan konsep kedaulatan Tuhan atau ke-Mahakuasa-an Tuhan.[9] Dengan konsep ke-Mahakuasa-an Tuhan, manusia dituntut untuk memutlakkan Allah. Dengan konsep tauhid manusia dituntut untuk  menafikan semua bentuk “tuhan” yang selain Allah dan menyembah hanya kepada Allah semata.
Jika dikaji secara mendalam, Pancasila dan UUD 1945, menganut ajaran kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan. Hal ini dibenarkan oleh Kuntowijoyo dengan mengatakan:
“Keunikan Pancasila adalah kekuasaan itu diletakkan dibawah Tuhan dan rakyat. Tuhan dan rakyat harus dibaca dengan “satu” tarikan nafas, karena itu ditulis dengan “teodemokrasi”. Tapi demi perincian, istilah itu dipusatkan jadi teokrasi dan demokrasi”.[10]

Dengan catatan bahwa konotasi negative teokrasi ala Barat dihilangkan. Teokrasi (teosentrisme) bagi umat Islam sama dengan tauhid yang intinya menjadikan Tuhan sebagai pusat. Berarti kekuasaan Negara adalah kekuasaan Tuhan. Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi dan bertanggungjawab kepada-Nya. Kekuasaan manusia adalah amanah Tuhan yang harus dipikul. Konsep accountability dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa harus disadari oleh setiap orang agar tidak melalaikan tugas-tugas kekuasaannya.

C.    KESIMPULAN
Dalam pembahasan kita pada makalah ini, telah membuka ruang berpikir ummat tenang agama dan Negara dalam kehidupan social. Perdebatan tentang relasi agama dan Negara terus menjadi agenda perbicnangan yang tak ada hentinya. Sehingga berdampak pada terciptanya pikroh-pikroh pemikiran baik di internal umat agama ataupun dengan lainnya.
Perkembangan pemikiran dari asfek historis, sejak masa klasik sampai modern system pemerintahan terus berkembang hingga saat ini. Praktek-praktek bernegara telah direalisasikan dalam beberapa bentuk seperti khilafah, monarki, demokrasi misalnya. Hal ini mengundang perbincangan terhadap peran agama dalam sebuah pemerintahan atau sebaliknya posisi Negara dalam mengembangkan ajaran-ajaran agama. Ketika agama memiliki korelasi yang positif terhadap Negara atau sebaliknya Negara membutuhkan agama sebagai penopang implementasi pemerintahan yang bermoral dan beretika, tentu memiliki konsekwensi logis yang dapat menata kehidupan bernegara berdasarkan prinsip hakekat agama.
Manusia sebagai makhluk social dan budaya memiliki kodrat hidup bermasyarakat. Berkat bantuan akalnya, manusia berpotensi untuk mengembangkan kehidupannya melalui cara-cara hidup berpolitik dan bernegara sesuai yang diintrodusir oleh al-Quran. Hal itu menjadi suatu postulasi tentang perlunya eksistensi Negara dan pemerintahan yang bertujuan untuk  mengatur tertib hidup, baik dalam urusan keagamaan maupun urusan dunia. Dan di dalamnya tercipta suatu kekuasaan politik yang meliputi bidang hokum, social, dan ekonomi
Dapat disimpulkan dalam makalah sebuah system pemerintahan yang dipergunakan oleh Negara harus menganut beberapa prinsip dasar sebagai fondasi menjalankan roda pemerintahan yang baik dan bersahaja, dianataranya prinsip musyawarah, ketaatan pada pemimpin, keadilan, kebersamaan dan membangun hubungan antar umat beragama.
Prinsip-prinsip dasar tersebut sejalan dengan pesan agama (Islam) khususnya tentang konsep terbangunnya system ketatanegaraan dalam sebuah Negara. Prinsip-prinsip tersebut relevan dengan apa yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Nilai-nilai moral yang terbangun dalam system tersebut, berlaku bagi agama lain yang hidup dan terlindungi Negara, sehingga terbangunnya hubungan yang harmonis antar individu atau masyarakat baik antar agama sekalipun telah mencerminkan penggunaaan prinsip ke-tauhid-an.
Ajaran Islam yang berupa dasar-dasar Negara, system pemerintahan dan system musyawarah dan sebagainya dapat dipraktikkan atau dipergunakan dalam Negara manapun di dunia, dengan tidak perlu mengambil Islam sebagai dasar Negara. Artinya bukan harus Negara itu menjadi  Negara Islam. Negara Islam yang paling ideal hanya ada pada Negara Madinah yang pernah didirikan Nabi Muhammad di masa awal pemerintahan Islam. Akan tetapi apapun cirri khasnya dan segala institusi di dalamnya, Negara madinah tetap menjadi acuan dasar dalam mencari substansi hubungan agama dan Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002

Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi, Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1993)

Ahmad Syafi’I Maarif, Islam dan masalah Kenegaraan, (Jakarta : Pustaka LP3ES, 1993)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988

H. Munawwir Sjadzali, MA., Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, (Jakarta: UIPress, 1993)  

Kuntowijoyo, Identitias Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997

Muhammad Asad, Sebuah Kajian tentang Sistem Pemerintahan Islam (Terjemahan), Salman, Bandung, 1985

Samih Athief az-Zain, Syariat Islam: Dalam perbincangan Ekonomi, Politik, dan Sosial sebagai Studi Perbandingan, Husaini, Bandung, 1988, hal : 18-19



[1]Samih Athief az-Zain, Syariat Islam: Dalam perbincangan Ekonomi, Politik, dan Sosial sebagai Studi Perbandingan, Husaini, Bandung, 1988, hal : 18-19
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988
[3]Ibid : Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah; Doktrin ………….. hal : 204
[4] Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 105
[5] Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi, Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1993) hal. 196
[6] Munawir Sjazali, Islam dan Tata Negara …………………….  hal : 4
[7] Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan  ……………… hal : 96
[8] [8] Sirojuddin, Politik Ketatanegaraan Islam ……………………… hal : 132
[9] Muhammad Asad, Sebuah Kajian tentang Sistem Pemerintahan Islam (Terjemahan), Salman, Bandung, 1985, hal : 72
[10] Kuntowijoyo, Identitias Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997, hal : 61