Laman

Minggu, 08 Agustus 2010

TEOLOGI KETATANEGARAAN

Oleh: Moh.Ridho.09750022/M.Talhah. 09750023 (SIAI.PPS.UIN.Malang)

A.    PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Sistem khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh toretorial, sehingga kekhalifahan Islam meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan yang mempersatukan kekhalifahan adalah Islam sebagai agama. Dalam bahasa Ibnu Khaldun, kekhalifahan merupakan kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Allah dan memikul dakwah Islam ke seluruh dunia. Menegakkan khalifah adalah kewajiban bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, sehingga melalaikan berdirinya kekhalifahan merupakan maksiat (kedurhakaan) yang disiksa Allah dengan siksaan yang pedih.[1]
Dalam pandangan ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dengan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara betul-betul organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam tipologi ini, Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik.
Setelah meninggalnya Rasulullah, para sahabat sepakat untuk mendirikan khilafah, meski mereka berbeda pendapat tentang orang yang akan dipilih sebagai khalifah, tetapi mereka tidak berbeda pendapat secara mutlak mengenai berdirinya kekhalifahan. Oleh karena itu kekhalifahan adalah penegak agama dan sebagai pengatur soal-soal duniawi dipandang dari segi agama.
Hubungan Negara dan tatanegara sangat erat dan satu sama lain saling menopang dalam mengoptimalkan pencapaian tujuan kenegaraan. Al-Qur'an sebagai seperangkat aturan dan nilai-nilai yang mengatur hubungan kehidupan manusia dengan menusia lainnya. Peraturan tersebut tertuang dalam suatu institusi Negara yang dapat dijadikan batasan berhubungan sosial. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur'an, kemudian menjadi roh dasar utama dari perangkat peraturan yang diciptakan. Peraturan-peraturan tersebut menyangkut hukum, ekonomi, politik dan persoalan lainnya menyangkut hasrat dan kehidupan masyarakat menuju yang lebih baik dan sejahtera.

  1. Tujuan Pembahasan
Dalam makalah ini, penyusun akan menjelaskan tentang teologi ketatangeraan, yang meliputi, sejarah ketatanegaraan dalam Al-Qur'an, Al-Qur'an dan ajaran ketatanegaraan, dan prinsip-prinsip teologi ketatanegaraan. Dengan itu, teologi ini bertujuan untuk :
  1. Ingin mengetahui sejarah ketatanegaraan dalam al-Qur'anQur’an
  2. Ingin mengetahui Al-Qur'an dan ajaran ketatanegeraan
  3. Ingin mengetahui, konsep-konsep teologi ketatanegaraan

B.     PEMBAHASAN
  1. Sejarah Ketatanegaraan dalam Al-Qur'an
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tata negara adalah seperangkat prinsip dasar yang mencakup peraturan susunan pemerintah, bentuk negara dan sebagainya yang menjadi dasar peraturan suatu negara. Ketatanegaraan adalah segala sesuatu mengenai tata negara. Menurut hukumnya, tata negara adalah suatu kekuasaan sentral yang mengatur kehidupan bernegara yang menyangkut sifat, bentuk, tugas negara dan pemerintahannya serta hak dan kewajiban para warga terhadap pemerintah atau sebaliknya. Untuk mengerti ketatanegaraan dari suatu negara pertama sekali perlu dimengerti apa itu negara: paham negara secara umum dan negara menurut bangsa Indonesia. Hubungan negara dan konstitusi akan diuraikan selanjutnya.[2]
Pengertian diatas, menghantarkan pemahaman kita tentang ketatanegaraan sebagai suatu system yang mengatur kehidupan masyarakat (rakyat) dalam kehidupan bernegara. Kehidupan bernegara dimaksudkan untuk dapat masyarakat menjalankan aktifitas kehidupannya secara baik dan berkeadilan. Asfek-asfek yang diatur dalam ketatanegaraan segala yang menyangkut hak dan kewajiban masyarakat dalam menjalankan roda pemerintahan.
Adapun system pemerintahan yang pernah dipraktikkan dalam Islam sangat terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami oleh masing-masing umat. Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke 7 Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah diperaktikkan beberapa system pemerintahan yang meliputi system pemerintahan khilafah (khilafah berdasarkan syura dan khalifah monarki), imamah, monarki dan demokrasi.
Kaum fundamentalis yang mendorong system pemerintahan khilafah adalah bagian dari model yang diyakini benar dalam sebuah Negara pada periode klasik dan pertengahan. Model Negara atau pemerintahan seperti ini justru ingin memberlakukan Islam dalam konteks Negara secara kaffah. Sifat pemikiran ini lebih literalis dan kaku dalam memahami Islam. Pemaknaan dimaksudkan adalah iklim politik yang terjadi pada masa klasik dan pertengahan adalah berbeda dari iklim politik yang terjadi saat ini.
Secara teologis, politik telah melahirkan beberapa pandangan yang berbeda dan dinamis. Perbedaan tersebut diawali dengan perbedaan pemahaman terhadap system politik yang diyakini mencapai tujuan sosiologis dan tujuan ilahiyah manusia. Perbedaan dalam memandang dasar atau ideology Negara berbeda maka secara otomatis pandangan terhadap ketatanegaraan pasti berbeda.
Secara historis, system pemerintahan yang pernah dipraktikkan dalam Islam sangat terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami oleh masing-masing ummat. Pada abad ke 7 misalnya, ummat telah mempraktikkan beberapa system pemerintahan yang meliputi system pemerintahan khilafah, imamah, monarki dan Demokrasi.[3] Berikut penting kita bahas lebih lanjut untuk mengkaitkan dengan perkembangan pemikiran Islam yang kemudian melhirkan teologi politik yang notabene terstruktur berdasarkan kebenaran yang sistematis.
Manusia dijadikan Tuhan sebagai wakil-Nya atau yang disebut khalifah di muka dunia dank arena keistimewaannya itu jugalah maka manusia dipandang oleh Rumi misalnya, sebagai tujuan akhir penciptaan alam semesta. Ibarat buah, maka sekalipun ia muncul kemudian setelah munculnya batang dan ranting, tetapi pohon itu sendiri tumbuh untuk menghasilkan buah. Sebagai halnya buah mengandung semua unsur pohon itu dalam bijinya, maka demikian juga manusia sebagai mikrokosmos mengandung semua unsur yang ada dalam alam semesta. Tentu manusia akan menjadi akhir penciptaan adalah manusia yang telah mencapai kesempurnaannya (insan kamil) yang dalam bentuk konkritnya diwakili oleh Nabi Muhammad saw sebagai contoh insane kamil (par excellent). Sebagai khalifah di muka bumi, manusia dikaruniai Tuhan dengan dua keistimewaan yaitu: yang pertama adalah kebebasan dan yang kedua adalah ilmu pengetahuan.[4]
Artinya: 17 “Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba kami Daud yang mempunyai kekuatan; Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan).” 18. “Sesungguhnya kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi,” 19. “Dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. masing-masingnya amat taat kepada Allah.” 20. “Dan kami kuatkan kerajaannya dan kami berikan kepadanya hikmah[1301]dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.”

[1301]  yang dimaksud hikmah di sini ialah kenabian, kesempurnaan ilmu dan ketelitian amal perbuatan.

Dari ayat di atas dapat mengetahui penggambaran kerajaan Daud, (yang mempunyai kekuatan), (dan Kami kekuatkan kerajaannya). Kerajaan Nabi Daud terpusat di wilayah Palestina, setelah ia menaklukkan Jalut, penguasa Palestina, dia juga menguasai bani Israil. Daud selalu menyeru kaumnya kepada jalan Allah, ia diberikan anugerah berupa fisik yang kuat, Allah memerintahkan kepadanya melakukan jihad dijalanNya. Karena, itu banyak melakukan perjalanan jihad memerangi kaum yang tidak beriman. Kemudian mewariskan kepada ananknya Nabi Sulaiman yakni kenbian, kerajaan, dan kekuasaannya yang meliputi bangsa manusia, jin dan burung-burung.

  1. Al-Qur'an dengan ajaran Ketatanegaraan

Prinsip dasar islam adalah bahwa makhluk manusia, baik secara individual maupun kelompok, harus menyerahkan semua hak atas kekuasaan, legislasi serta penguasaan atas sesamanya. Tidak seorangpun yang akan diperkenankan memberikan perintah atau aturan-aturan sekehendaknya sendiri dan tidak seorangpun yang diperkenankan untuk mengakui kewajiban untuk melaksanakan perintah atau aturan seperti ini. Tidak seorangpun diberikan hak istimewa untuk membuat undang-undang sekehendak hatinya sendiri dan tidak seorangpun yang wajib mengikatkan dirinya kepada undang-undang yang telah dibentuk dengan cara seperti itu. Hak ini hanya merupakan hak Allah:
Surat Yusuf: 40
Artinya: “Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali Hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."

Surat Al-Maidah: 44
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Menurut ayat di atas kedaulatan ada di tangan Allah. Allah sendiri yang merupakan pemberi hukum. Tujuan perintah-perintah al-Qur’an yang berkaitan dengan ini adalah bahwa manusia harus mewujudkan status sejatinya sebagai khalifah dan dengan demikian dia bertugas untuk menaati majikan-Nya di bumi. Jika manusia melakukan yang sebaliknya, maka dia akan menjadi hamba setan-musuh abadi manusia dan akan tersesat. Kekhalifahan manusia merupakan kekhalifahan umum, pada dasarnya milik manusia dan bukan merupakan milik istimewa siapapun. Tetapi karena menyiratkan arti pengakuan Tuhan sebagai pemegang kedaulatan, maka hanya orang-orang yang mengakuinya-dalam hal ini kaum muslimin-yang memiliki hak untuk menggunakannya. Inilah sebabnya mengapa dalam suatu Negara Islam kekhalifahan terbatas hanya untuk kaum muslimin, tetapi dapat dinikmati oleh semua kalangan.[5]
Kalau ada diatara umat Islam merasa wajib membentuk Negara dan pemerintahan, maka kewajiban itu bukanlah semata-mata atas dasar ijtihad dan pemikiran rasional berdasarkan  Surah An-Nisa’ ayat 59:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ibnu Taymiyah
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”

  1. Prinsip-prinsip al-Qur'an tentang Ketatanegaraan
Dari penjelasan pada sub bahsan sebelumnya, bahwa telah dipraktekkan beberapa system pemerintahan pada suatu Negara pada kondisi dan iklim politik yang berbeda pula, sehingga corak system pemerintahan yang diyakini kebenarannya pun menjadi berbeda. Maka dalam hal ini menjadi penting untuk kita bahas dalam makalah ini.
Di dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Di antaranya ayat-ayat tersebut mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat atau konsultasi, ketaatan kepada pemimpin, keadilan, persamaan dan kebebasan beragama.[6] Pada referensi yang berbeda, yang memperkuat prinsip-prinsip diatas diistilahkan dengan pilar-pilar Negara Islam, yaitu keadilan, permusyawaratan, persamaan dan akhlak mulia.[7]
Beberapa prinsip dasar diatas inilah yang penting kita coba kaji dalam kerangka membangun teologi politik Islam dari asfek ketatanegaraan yang dikembangkan oleh sebuah Negara.

1.      Musyawarah
Musyawarah merupkan salah satu prinsip yang disampaikan Islam dan dijadikan salah satu tonggak dasar penegakan Negara. Karena itulah, Islam mewajibkan pelaksanaan musyawarah  dalam seluruh masalah umum Negara, seperti pemilihan pemimpin dan para wakil rakyat, pendirian dan pengaturan dewan lembaga umum, dan pengaturan perkara umum yang berkaitan dengan politik, hokum dan pemerintahan.
Penghargaan Islam terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam musyawarah tertuang satu surat penuh dalam Al-Qur’an dengan nama Asy-Syura. Berikut salah satu ayat yang menegaskan tentang hal tersebut, yaitu:
Artinya: ِDan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura (42) : 38)
Dalam demokrasi orang mengenal istilah one man one vote. Dengan satu orang satu suara maka tak ada lagi istilah muslim atau kafir ulama atau juhala ahli maksiat atau orang shalih dan seterusnya. Semua suara bernilai sama di hadapan ‘hukum’. Walhasil keputusan terbaik adl keputusan yg diperoleh dgn suara mayoritas. Lalu bagaimana dengan sistem islam? Siapakah yg patut didengar suaranya?Dalam ketatanegaraan Islam dIkenal istilah “ahli syur”’. Posisinya yg sangat penting membuat keberadaannya tidak mungkin dipisahkan dgn struktur ketatanegaraan. Karena bagaimanapun bagusnya seseorang pemimpin ia tetap tidak akan pernah lepas dari kelemahan kelalaian atau pun ketidaktahuan dalam beberapa hal. Sampai-sampai Nabi Muhammad  diperintahkan utk melakukan syura apalagi selain beliau tentunya. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan: “Jika Allah mengatakan kepada Rasul-Nya padahal beliau adl orang yang paling sempurna akalnya paling banyak ilmunya dan paling bagus idenya– ‘maka bermusyawarahlah dgn mereka dalam urusan itu’ maka bagaimana dgn selain beliau?” Kata asy-syura adl ungkapan lain dari kata musyawarah atau masyurah yg dalam bahasa kita dikenal dgn musyawarah sehingga ahli syura adl orang yang dipercaya utk diajak bermusyawarah.
Disyariatkannya Syura Allah berfirman: “Maka bermusyawarahlah dgn mereka dalam urusan itu.” Juga Allah memuji kaum mukminin dgn firman-Nya: “Dan urusan mereka dgn musyawarah dan mereka menafkahkan sebagian yg kami rizkikan kepada mereka.” Kedua ayat mulia diatas menunjukkan tentang disyariatkannya bermusyawarah.  yg sering melakukannya dgn para sahabatnyarDitambah lagi dengan praktek Nabi  seperti dalam masalah tawanan perang Badr kepergian menuju Uhud utk menghadapi kaum musyrikin menangggapi tuduhan orang-orang munafiq yg menuduh ‘Aisyah berzina dan lain-lain.
Demikian pula para shahabat beliau berjalan di atas jalan ini. (lihat Shahih Al-Bukhari 13/339 dengan Fathul Bari) Ibnu Hajar berkata: “Para ulama berselisih dalam hukum wajibnya.” Pentingnya SyuraSyura teramat penting keberadaannya sehingga para ulama diantarnya Al-Qurthubi mengatakan: “Syura adl keberkahan.” Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: “Tidaklah sebuah kaum bermusyawarah di antara mereka kecuali Allah akan tunjuki mereka kepada yg paling utama dari yg mereka ketahui saat itu.”
2.      Ketaatan Pada Pemimpin
Ketataan kepada para pemimpin adalah salag satu prinsip yang harus dipegang dalam menata Negara yang kuat. Ketaatan yang dimaksud tidak secara totalitas, tanpa memilah taat pada konteks yang tidak terbatas. Pemimpin adalah konselor atau mediator yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam sebuah perselisihan dalam berbagai probleamtika hidup. Al-Qur’an menjelaskan hal tersebut dalam ayatnya: (QS. An-Nisaa (04) : 59)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

3.      Keadilan
Keadilan dalam perspektif Islam merupakan system yang paling dapat dibanggakan. Keadilan dalam system Islam terletak pada garis terdepan dari prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan Islam. Bukan hanya dalam masalah peradilan dan mengikis perselisihan. Tapi dalam seluruh masalah Negara, baik hokum, pemerintahan maupun politik. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firmannya: (QS. An-Nahl (16) : 90)          
Artinya: “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

4.      Persamaan
Prinsip persamaan dimaknakan bahwa setiap individu memiliki persamaan dalam hak dan kewajiban umum, sehingga tiada perbedaan di antara mereka dalam hal tersebut disebabkan oleh etnis, ras, bahasa, agama atau keyakinan.
Prinsip persamaan ini diterjemahkan ke dalam empat macam bentuk, yaitu:
1.      Persamaan dalam undang-undang, artinya semua warga negara merupakan satu kelompok dengan tanpa perbedaan dalam penerapan undang-undang.
2.      Persamaan di depan Peradilan, artinya tiada perbedaan hukum yang memutuskan perselisihan sebab perbedaan sistem masyarakat bagi individu yang meminta peradilan. Semua orang dapat diajukan ke pengadilan tanpa pembedaan di antara mereka sebab status sosial atau kedudukannya.
3.      Persamaan didepan tugas kenegaraan, artinya semua warga negara memiliki persamaan dalam memangku jabatan umum dan harus diprlakukan sama dalam syarat-syarat kepegawaian.
4.      Persamaan dalam kewajiban umum, artinya setiap warga negara harus mendapatkan haknya, maka konsekwensinya harus menjalankan kewajibannya sebagai warga negara. Firman Allah dalam QS. Al-Hujurat (49) : 13) :
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

5.      Hubungan Antar Umat dari Berbagai Agama
Islam telah membangun komitmen terhadap hubungan sebagian manusia dengan sebagian manusia yang lainnya. Hubungan inilah yang menjadi prinsip keutamaan akhlak.
Artinya: Dan Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.  (QS. Al-Qalam (68) : 3)

Dalam pandangan A. Hasjmy, manusia sebagai makhluk social dan budaya memiliki kodrat hidup bermasyarakat. Berkat bantuan akalnya, manusia berpotensi untuk mengembangkan kehidupannya melalui cara-cara hidup berpolitik dan bernegara sesuai yang diintrodusir oleh al-Quran. Hal itu menjadi suatu postulasi tentang perlunya eksistensi Negara dan pemerintahan yang bertujuan untuk  mengatur tertib hidup, baik dalam urusan keagamaan maupun urusan dunia. Dan di dalamnya tercipta suatu kekuasaan politik yang meliputi bidang hokum, social, dan ekonomi.[8]
Dalam pemikiran ahli hokum Jimly Asshiddiqie misalnya menyatakan bahwa dalam konteks Negara Republik Indonesia yang berpijak pada Pancasila dan UUD 1945 dikatakan “kedaulatan ada di tangan Rakyat” dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis permusyawaratan Rakyat. Akan tetapi jika diteliti secara mendalam terutama dengan mempertimbangkan rumusan dan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan, batang tubuh, dan penjelasannya ternyata juga mengandung ajaran kedaulatan.
Jika kedaulatan itu dimaknai sebagai konsep mengenai kekuasaan tertinggi, maka konsep mengenai ke-Mahakuasaan Tuhan yang terdapat dalam alenia ke-3 Pembukaan UUD 1945 juga merupakan konsep mengenai kekuasaan tertinggi.
Konsep kedaulatan tidak bertentangan dengan kedua konsep ke-Mahakuasaaan dan ke-Mahaesaan Tuhan. Hal ini mengingat kekuasaan Negara dalam pandangan Islam dilandasi oleh tauhid (ke-Mahaesa-an Allah) dan konsep kedaulatan Tuhan atau ke-Mahakuasa-an Tuhan.[9] Dengan konsep ke-Mahakuasa-an Tuhan, manusia dituntut untuk memutlakkan Allah. Dengan konsep tauhid manusia dituntut untuk  menafikan semua bentuk “tuhan” yang selain Allah dan menyembah hanya kepada Allah semata.
Jika dikaji secara mendalam, Pancasila dan UUD 1945, menganut ajaran kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan. Hal ini dibenarkan oleh Kuntowijoyo dengan mengatakan:
“Keunikan Pancasila adalah kekuasaan itu diletakkan dibawah Tuhan dan rakyat. Tuhan dan rakyat harus dibaca dengan “satu” tarikan nafas, karena itu ditulis dengan “teodemokrasi”. Tapi demi perincian, istilah itu dipusatkan jadi teokrasi dan demokrasi”.[10]

Dengan catatan bahwa konotasi negative teokrasi ala Barat dihilangkan. Teokrasi (teosentrisme) bagi umat Islam sama dengan tauhid yang intinya menjadikan Tuhan sebagai pusat. Berarti kekuasaan Negara adalah kekuasaan Tuhan. Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi dan bertanggungjawab kepada-Nya. Kekuasaan manusia adalah amanah Tuhan yang harus dipikul. Konsep accountability dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa harus disadari oleh setiap orang agar tidak melalaikan tugas-tugas kekuasaannya.

C.    KESIMPULAN
Dalam pembahasan kita pada makalah ini, telah membuka ruang berpikir ummat tenang agama dan Negara dalam kehidupan social. Perdebatan tentang relasi agama dan Negara terus menjadi agenda perbicnangan yang tak ada hentinya. Sehingga berdampak pada terciptanya pikroh-pikroh pemikiran baik di internal umat agama ataupun dengan lainnya.
Perkembangan pemikiran dari asfek historis, sejak masa klasik sampai modern system pemerintahan terus berkembang hingga saat ini. Praktek-praktek bernegara telah direalisasikan dalam beberapa bentuk seperti khilafah, monarki, demokrasi misalnya. Hal ini mengundang perbincangan terhadap peran agama dalam sebuah pemerintahan atau sebaliknya posisi Negara dalam mengembangkan ajaran-ajaran agama. Ketika agama memiliki korelasi yang positif terhadap Negara atau sebaliknya Negara membutuhkan agama sebagai penopang implementasi pemerintahan yang bermoral dan beretika, tentu memiliki konsekwensi logis yang dapat menata kehidupan bernegara berdasarkan prinsip hakekat agama.
Manusia sebagai makhluk social dan budaya memiliki kodrat hidup bermasyarakat. Berkat bantuan akalnya, manusia berpotensi untuk mengembangkan kehidupannya melalui cara-cara hidup berpolitik dan bernegara sesuai yang diintrodusir oleh al-Quran. Hal itu menjadi suatu postulasi tentang perlunya eksistensi Negara dan pemerintahan yang bertujuan untuk  mengatur tertib hidup, baik dalam urusan keagamaan maupun urusan dunia. Dan di dalamnya tercipta suatu kekuasaan politik yang meliputi bidang hokum, social, dan ekonomi
Dapat disimpulkan dalam makalah sebuah system pemerintahan yang dipergunakan oleh Negara harus menganut beberapa prinsip dasar sebagai fondasi menjalankan roda pemerintahan yang baik dan bersahaja, dianataranya prinsip musyawarah, ketaatan pada pemimpin, keadilan, kebersamaan dan membangun hubungan antar umat beragama.
Prinsip-prinsip dasar tersebut sejalan dengan pesan agama (Islam) khususnya tentang konsep terbangunnya system ketatanegaraan dalam sebuah Negara. Prinsip-prinsip tersebut relevan dengan apa yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Nilai-nilai moral yang terbangun dalam system tersebut, berlaku bagi agama lain yang hidup dan terlindungi Negara, sehingga terbangunnya hubungan yang harmonis antar individu atau masyarakat baik antar agama sekalipun telah mencerminkan penggunaaan prinsip ke-tauhid-an.
Ajaran Islam yang berupa dasar-dasar Negara, system pemerintahan dan system musyawarah dan sebagainya dapat dipraktikkan atau dipergunakan dalam Negara manapun di dunia, dengan tidak perlu mengambil Islam sebagai dasar Negara. Artinya bukan harus Negara itu menjadi  Negara Islam. Negara Islam yang paling ideal hanya ada pada Negara Madinah yang pernah didirikan Nabi Muhammad di masa awal pemerintahan Islam. Akan tetapi apapun cirri khasnya dan segala institusi di dalamnya, Negara madinah tetap menjadi acuan dasar dalam mencari substansi hubungan agama dan Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002

Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi, Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1993)

Ahmad Syafi’I Maarif, Islam dan masalah Kenegaraan, (Jakarta : Pustaka LP3ES, 1993)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988

H. Munawwir Sjadzali, MA., Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, (Jakarta: UIPress, 1993)  

Kuntowijoyo, Identitias Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997

Muhammad Asad, Sebuah Kajian tentang Sistem Pemerintahan Islam (Terjemahan), Salman, Bandung, 1985

Samih Athief az-Zain, Syariat Islam: Dalam perbincangan Ekonomi, Politik, dan Sosial sebagai Studi Perbandingan, Husaini, Bandung, 1988, hal : 18-19



[1]Samih Athief az-Zain, Syariat Islam: Dalam perbincangan Ekonomi, Politik, dan Sosial sebagai Studi Perbandingan, Husaini, Bandung, 1988, hal : 18-19
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988
[3]Ibid : Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah; Doktrin ………….. hal : 204
[4] Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 105
[5] Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi, Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1993) hal. 196
[6] Munawir Sjazali, Islam dan Tata Negara …………………….  hal : 4
[7] Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan  ……………… hal : 96
[8] [8] Sirojuddin, Politik Ketatanegaraan Islam ……………………… hal : 132
[9] Muhammad Asad, Sebuah Kajian tentang Sistem Pemerintahan Islam (Terjemahan), Salman, Bandung, 1985, hal : 72
[10] Kuntowijoyo, Identitias Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997, hal : 61