Laman

Rabu, 04 Agustus 2010

BANI UMAYYAH



PERKEMBANGAN EKONOMI DAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Oleh. M. Ridho/SIAI-PPs.UIN.Malang/09750022

1.      Pendahuluan
Nama “Daulah Umayyah” berasal dari nama “Umaiyah ibnu ‘Abdi Syam ibnu ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy dizaman Jahiliyah. Umaiyah ini senantiasa bersaing dengan pamannya Hasyim ibnu Abdi Manaf, untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya. Sesudah datang agama Islam berubahlah hubungan antara Bani Umaiyah dengan saudara-saudara sepupu mereka Bani Hasyim, oleh karena persaingan-persaingan untuk merebut kehormatan dan kekuasaan tadi berubah menjadi permusuhan yang lebih nyata, Bani Umaiyah dengan tegas menentang Rasulallah saw dan usaha-usaha beliau mengembangkan agama Islam. sebaliknya Bani Hasyim menjadi penyokong dan pelindung Rasulallah saw, baik mereka yang telah masuk Islam maupun yang belum.[1]
Bani Umayyah masuk Islam setelah tidak mereka tidak menemukan jalan lain, selain memasukinya yaitu ketika Nabi Muhammad saw  bersama beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya kepada kerasulan dan pimpinannya, menyerbu kekota Makkah. Tapi setala masuk Islam, mereka dengan segera memperlihatkan semangat kepahlawanan yang jarang tandingannya dan mereka benar-benar telah mencatat prestasi yang baik sekali dalam peperangan memerangi kaum murtad dan terhadap orang-orang yang mengaku nabi, dan orang-orang yang enggan membayar zakat.[2]
Pada hakekatnya Bani Umayyah menginginkan jabatan Khalifah pada masa Abu Bakar dan Umar tapi mereka belum mempunyai harapan uantuk mencapai cita-citanya. Pada masa Usmanlah mereka baru muncul harapan besar bagi Bani Umayyah dan menyokong pencalonan Usman secara terang-terangan, dan akhirnya Usman terpilih. Di masa Usman inilah Muawiyah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya dan menyiapkan daerah Syam untuk menjadi pusat kekuasaan di masa datang.[3]
Khilafah Bani Umayyah (661-750 M) yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah, dimana pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), yang diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya "khalifah Allah" dalam pengertian "penguasa" yang diangkat oleh Allah.[4]
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan Ibn Ali ketika dia naik Tahta yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdulah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadab Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Makkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid.
Mereka mengangkat Husein sebagai khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela. Perlawanan orang-orang Syi’ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein. Gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah terjadi. Yang termashur diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali. yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya, gerakan Abdullah ibn Zubair. Namun, ibn Zubair juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi’ah. Abdullah ibn Zubair membina gerakan oposisinya di Makkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan tetapi, dia baru menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husein ibn Ali terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Makkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan.
Namun, peperangan terhenti karena Yazid wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus. Gerakan Abdullah ibn Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abd al-Malik. Tentara Bani Umayyah dipimpin al-Hajjaj berangkat menuju Thaif, kemudian ke Madinah dan akhirnya meneruskan perjalanan ke Makkah. Ka’bah diserbu. Keluarga Zubair dan sahabatnya melarikan diri, sementara ibn Zubair sendiri dengan gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya terbunuh pada tahun 73 H/692 M.
Selain gerakan di atas, gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan kelompok Khawarij dan Syi’ah juga dapat diredakan. Keberhasilan memberantas gerakan-gerakan itulah yang membuat orientasi pemerintahan dinasti ini dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol. Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M). Ketika dinobatkan sebagai khalifah, dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Sepeninggal Umar ibn Abd al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid ibn Abd al-Malik (720- 724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya,
Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Maiik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya. Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana. 
Adapun Khalifah besar yang berkuasa pada Bani Umayyah adalah :
-      Muawiyah Ibn Abi Sufyan (661M-680M)               
-      Abd Al-Malik Ibn Marwar (685M-705M)
-      Al-Walid Ibn Abd Malik (705M-715M)
-      Umar Ibn Abd Al-Aziz (717M-720M)
-      Hisyam Ibn Abd Al-Malik (724M-743M)

Wilayah Kekuasaan Bani Umayyah
Dengan keberhasilan ekspansi kebebrapa daerah, baik di Timur maupun di Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Iraq, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Uzbek dan Kirgis di asia Tengah. 
2.      PERKEMBANGAN EKONOMI BANI UMAYYAH
a. Kewajiban yang harus dibayar oleh warga Negara (Al-Dharaaib)
Sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah berasal dari potensi ekonomi negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak dari negara-negara yang telah ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam. dan negeri yang baru ditaklukkan, terutama yang belum masuk Islam, ditetapkan pajak-pajak istimewa. Kebijakan inilah yang menyebabkan adanya perlawanan diberbagai daerah.
Sedangkan pada masa Umar bin Abdul Azis di bidang fiskal, Umar memangkas pajak dari orang Nasrani. Tak cuma itu, ia juga menghentikan pungutan pajak dari mualaf. Kebijakannya itu telah mendongkrak simpati dari kalangan non-Muslim. Sejak kebijakan itu bergulir, orangorang non-Muslim pun berbondong-bondong memeluk agama Islam.[5]
Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka memungkinkan untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke Dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak.

b. Pengelolaan Baitul Mal
Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.
Pada era kekhalifahan Umayyah, pengelolaan baitulmal yang paling bersih terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Begitu Khalifah Umar II itu berkuasa, tanpa ragu dan pandang bulu semua harta kekayaan para pejabat dan keluarga bani Umayyah yang diperoleh secara tak wajar dibersihkan. Ia lalu menyerahkannya ke kas negara. Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Mal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah.
Di samping itu, Umar sendiri mengembalikan milik pribadinya sendiri, yang waktu itu berjumlah sekitar 40.000 dinar setahun, ke Baitul Mal. Harta tersebut diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan. Di antara harta itu terdapat perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Mekah, yang sejak Nabi SAW wafat dijadikan milik negara. Namun, Marwan bin Hakam (khalifah ke-4 Bani Umayah, memerintah 684-685 M) telah memasukkan harta tersebut sebagai milik pribadinya dan mewariskannya kepada anak-anaknya[6]. Langkah itu dilakukan khalifah demi menyejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Setelah membersihkan harta kekayaan tak wajar di kalangan pejabat dan keluarga bani Umayyah, Khalifah Umar melakukan reformasi dan pembaruan di berbagai bidang.[7]
Kebijakan-kebijakan Umar melindungi rakyat kecil. Pada masanya orang-orang kaya membayar zakat sehingga kemakmuran benar-benar terwujud. Konon, saat itu sulit menemukan para penerima zakat lantaran kemakmuran begitu merata.[8] Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, ‘’Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang- orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya,’’ kisah Yahya bin Said.
Kemakmuran itu tak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Basrah. Abu Ubaid mengisahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, Gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di provinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata, ‘’Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka. Namun, di Baitulmal masih terdapat banyak uang.’’ Khalifah Umar memerintahkan, ‘’Carilah orang yang dililit utang tetapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya!’’
Abdul Hamid kembali menyurati Khalifah Umar, ‘’Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di baitulmal masih banyak uang.’’ Khalifah memerintahkan lagi, ‘’Kalau begitu bila ada seorang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya!’’ Abdul Hamid sekali lagi menyurati Khalifah. Dalam suratnya dia menyatakan,’’ Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah. Namun, di Baitulmal ternyata masih juga banyak uang.’’ Akhirnya, Khalifah Umar memberi pengarahan, ‘’Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah mereka pinjaman agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih.[9]
Akan tetapi, kondisi Baitul Mal yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz kepada posisi yang sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para penguasa telah meruntuhkan sendi-sendi Baitul Mal, dan keadaan demikian berkepanjangan sampai masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah.
Saluran keuangan keluar Baitul Mal pada zaman Daulah Umayyah pada umumnya sama seperti permulaan Islam, yaitu untuk:
1.    Gaji para pegawai dan tentara, serta biaya tata usaha Negara.
2.    Pembangunan pertanian, termasuk irigasi dan penggalian terusan-terusan.
3.    Ongkos bagi orang-orang hukuman atau tawanan perang.
4.    Perlengkapan perang
5.    Hadiah-hadiah untuk para pujangga dan ulama.

c. Kebijakan memacu Pertumbuhan Ekonomi
Kebijakan yang dilakukan Bani Umayyah tidak hanya mengeksplotasi atau menguras sumber daya alam saja tetapi ada juga kebijakan dan usaha-usaha untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia berhasil memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbangan, takaran dan keuangan.
Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembangunan sector pertanian, dan telah memperkenalkan system pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil pertanian. Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraftangan telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi bani Umayyah.
Khalifah Umar bin abdul Azis pun menggunakan kas negara untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyatnya. Berbagai fasilitas dan pelayanan publik dibangun dan diperbaiki. Sektor pertanian terus dikembangkan melalui perbaikan lahan dan saluran irigasi. Sumur-sumur baru terus digali untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih. Jalan-jalan di kota Damaskus dan sekitarnya dibangun dan dikembangkan. Untuk memuliakan tamu dan para musafir yang singgah di Damaskus, khalifah membangun penginapan. Sarana ibadah seperti masjid diperbanyak dan diperindah. Masyarakat yang sakit disediakan pengobatan gratis.
Kebijakan yang paling strategis pada masa Daulah Bani Ummayah adalah adanya sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abd Al Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, Dia mencetak mata uang sendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Disalah satu sisinya tertulis kalimat tauhid dan sisi lainnya tertulis namanya.[10] Mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak sebagai lambang kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada sebelumnya, yang kemudian diedarkan keseluruh penjuru negeri Islam[11] kecuali Mesir.[12]
3.  SISTEM ADMINISTRASI PEMERINTAHAN BANI UMAYYAH
Pemerintahan Dinasti Umayyah bukanlah agama dan hukum-hukum agama akan tetapi administrasi pemerintahan. Disini mereka melakukan pengorganisasian, sentralisasi, dan meneruskan birokrasi pemerintahan sebagai suatu yang berlawanan dengan individualism Badui dan anarki cara hidup Arab. Cita-cita keagamaan Islam dan pemerintahan Dinasti Umayyah secara bersama-sama menciptakan kerangka kerja baru bagi masyarakat muslim Arab dan dengan cepat tersebar ke daerah-daerah yang berhasil ditaklukkannya.[13]
Pada permulaan Islam organisasi Administrasi Tata Usaha Negara sangatlah sederhana, tidak diadakan pembidangan usaha yang khusus. Demikian pula keadaannya pada masa Bani Umayyah Administari Negara sangat simple. Pada umumnya didaerah-daerah Islam bekas daerah Romawi dan Persia, Administrasi pemerintahan dibiarkan terus berlaku seperti yang telah ada, kecuali diadakan perubahan-perubahan kecil.[14]
 a.  Dewan Sekretaris Negara (Diwaanul Kitabah)
Seperti halnya pada masa permulaan Islam, pada masa Bani Umayyah dibentuk semacam Dewan Sekretaris Negara (Diwaanul Kitabah) untuk mengurusi berbagai bidang urusan pemerintahan. Dalam masa ini urusan pemerintahan telah banyak, maka ditetapkanlah lima orang sekretaris, yaitu :
1. Katib ar-Rasaail (Sekretaris Urusan Persuratan),
2. Katib al-Kharraj (Sekretaris Urusan Pajak/Keuangan),
3. Katib al-Jund (Sekretaris Urusan Ketentaraan),
4. Katib asy-Syurthahk (Sekretaris urusan Kepolisian),
5. Katib al-Qadhi (Sekretaris Urusan Kehakiman).[15]
Diantara para sekretaris Katib ar-Rasaail yang paling penting sehingga kholifah memberikan jabatan ini diberikan kepada kaum kerabat kholifah sendiri atau orang tertentu saja. Diantara khuttab yang paling terkenal pada masa daulah umayyah, yaitu :
1. Ziyad bin Abihi (sekretaris Abi Musa al-Asy’ari)
2. Salim (sekretaris Hisyam bin Abdul Malik)
3. Abdul Hamid (sekretaris Marwan bin Muhammad).
Dimasa ini diadakan satu jabatan baru yang bernama al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan kholifah atau dalam masa kini biasa dikenal Paspampres. Jabatan ini dibentuk atas dasar kekuatiran terulangnya peristiwa pembunuhan terhadap Ali dan percobaan pembunuhan terhadap Mu’awiyah dan Amr bin Ash. Selanjutnya diadakan penjagaan yang sangat ketat terhadap kholifah sehingga siapapun tidak dapat menghadap kholifah sebelum mendapat izin dari para pengawal (Hujjab), kecuali Muazzin, pengantar pos dan pengurus dapur.[16]

b.   Organisasi Tata Usaha Negara (An-Nidhamul Idari)
Muawiyah mendirikan Dinas Pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda dengan peralatannya disepanjang jalan. Pegawai pos mengambil seekor kuda dan mengendarainya denga cepat sehingga sampai ke stasion berikutnya. Disana ia mengambil kuda yang telah disiapkan kembali mengendarainya dengan cepat kestasion berikutnya pula. Begitulah seterusnya.[17] Setelah Khalifah Abdul Malik bin Marwan berkuasa maka diadakan perbaikan-perbaikan dalam Organisasi Pos, sehingga ia menjadi alat vital dalam administrasi Negara. badan ini bertugas menyiarkan berita dari pusat ke daerah atau sebaliknya.[18] Selanjutnya Khalifah Umar bin Abdul Azis pun memperbaiki pelayanan di dinas pos, sehingga aktivitas korespondesi berlangsung lancar.
Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat lambang Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
Pada masa Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah merintis penerjemahan atau menyalin ilmu-ilmu asing ke bahasa Arab dan disempurnakan, untuk kepentingan tamadun Islam. Sebagaimana contoh khalifah Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah memdatangkan orang-orang romawi yang bermukim di Mesir, diantaranya seorang pendeta untuk mengajarkan ilmu kimia dan selanjutnya disalin kedalam bahasa Arab.[19]
Pada masa Khalifah Abd Al-Malik bin Marwan berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan melakukan perubahan bahasa dari bahasa Yunani dan bahasa Pahlawi kebahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.[20]
Kholifah Al-Walid ibn Abd. Malik (705-715M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk orang-orang yang infalid, Semua personel yang terlibat dalam kegiatan humanis digaji oleh Negara secara tetap. Juga membangun jala-jalan raya yang menguhungkan suatu daerah dengan daerah yang lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.[21]
Berkat jasa Gubernur Afrika Musa bin Nushair beserta mantan budaknya yang diangkat sebagai panglima perang Thariq bin Ziyad pemerintahan Kholifah Walid ibn Abd. Malik memperluas kekuasaan Islam di negeri spanyol, disini toleransi keagamaan diterapkan secara maksimal. Keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu, bahkan tentara Islam yang melanggar juga harus menerima hukuman yang berat. Tak ada harta rakyat atau tanah yang disita. Serta menerapkan sistem perpajakan yang sangat jitu yang sampai membawa kemakmuran di semenanjung itu.bahkan menjadi negeri teladan di Barat. Orang-orang Islam dibiarkan memiliki hakim sendiri untuk memutuskan perkaranya. Semua komonitas mendapat kesempatan yang sama dalam pelayanan umum.
Pemerintah Islam sangat baik menjalankan pemerintahannya sehingga membawa efek yang luar biasa terhadap kalangan Kristen bahkan pendetanya.[22] Seorang penulis Kristen pernah mengatakan, “Muslim-muslim Arab itu terorganisir kerajaan Cordoba dengan baik. Ini sebuah keajaiban di abad pertengahan. Mereka mengenakan obor pengetahuan, peradaban, kecemerlanga dan keistimewaan bagi dunia Barat. Saat itu Eropa dalam kondisi percekcokan, kebodohan dan gelap.”
Khalifah Umar bin Abdul Azis (99-102 H/717-720 M) memerintah Daulah Umayyah hanya dua setengah tahun, namun kebijakan yang dibuatnya sungguh berjasa bagi umat Islam. dialah yang menerapka syariat Islam secara utuh dengan minta bantuan ulama, seperti Hasan Basri. Pada masanya Hadis-hadis mulai dibukukan. Sebuah kitab ilmu kedokteran yang dikarang Qis Ahran dalam bahasa Suryani, kemudian disalin dalam bahasa Arab oleh Masarjuwaihi. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis dikeluarkanlah kitab ini dari Kutubkhanah Syam untuk dikembangkan kepada masyarakat.[23]

c. Organisasi Pertahanan (An-Nidhamul Harby)
Dimasa pemerintahan Muawiyah bin Sufyan berusaha menertibkan angkatan bersenjata sebagai bentuk penyempurnaan dari organisasi pertahanan yang telah dibuat oleh Khalifah Umar. Hanya bedanya pada masa Kholifaturrasyidin tentara Islam adalah tentara sukarela namun pada masa daulah Umayyah orang masuk tentara kebanyakan dengan paksa atau setengah paksa, yang dinamakan Nidhamut Tajridil Ijbari (seperti undang-undang wajib militer).[24]
Pengembangan angkatan laut yang terkenal sejak masa Uthman sebagai Amir Al-Bahri, tentu akan mengembangkan idenya dimasa Muawiah berkuasa, ketika Byzantium mengerahkan tentaranya untuk mmperluas jajahannya, dan tiba diwilayah kekuasaan Muawiyah. Untuk mengusir tentara Byzantium, Muawiyah mengerahkan kapal perang kecil  berjumlah 1700 buah dan mampu menghalau musuh.[25] Dengan tidak mengenal lelah, kaum Muslimin menaklukkan pulau Cyprus dan Rhodus di laut tengah.
Pada masa ini angkatan laut Islam masih sangat sederhana. Namun ketika masa Mu’awiyah memegang kendali pemerintahan maka dibangunlah armada Islam yang kuat dengan tujuan :
(1. Untuk mempertahankan daerah-daerah Islam dari serangan armada Romawi;
(2.   Untuk memperluas dakwah Islamiyah.
Begitu pula Mu’awiyah membangun armada musim panas dan musim dingin sehingga dia sanggup bertempur disegala musim.[26]

d.   Organisasi Kehakiman (An-Nidhamul Qadhaai)
Sedangkan pada bidang pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah membentuk lembaga yang bernama An Nidzamul Qadhaai (organisasi kehakiman). Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi kedalam tiga badan yaitu:
-       Al-Qadha’: bertugas memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada “mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu para qadhi menggali hukum sendiri dari al-kitab dan as-Sunnah dengan berijtihad.
-    Al-Hisbah: bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat.
-   An-Nadhar fil Madhalim: yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding.[27]
Pada masa Khalifah Abd Al-Malik bin Marwan membentuk Mahkamah Tinggi untuk mengadili para pejabat yang menyeleweng atau bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat.[28]
Selain itu, Khalifah Bani Umayyah juga mengangkat pembantu-pembantu sebagai pendamping yang sama sekali berbeda dengan Khalifah sebelumnya. Mereka merekrut orang-orang non Muslim menjadi pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan kesatuan dalam militer. Hal ini terjadi sejak Muawiyah menjabat sebagai Khalifah, yang kemudian diwarisi oleh keturunannya. Tetapi pada zaman Umar bin Abdul Azis kebijakan tersebut dihapus, karena orang-orang non Muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilage di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam, bahkan menganggap mereka rendah.[29]

e.  Sistem Pergantian Kepala Negara dan Keruntuhan Umayyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru (bid’ah) bagi tradisi Islam yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syiah (para pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, para Ulama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd. Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.


DAFTAR PUSTAKA

Adlan, Abd. Jabbar.  Dirasat Islamiyah; Sejarah dan Pembaharuan Islam, Surabaya: Anika Bahagia Offset, 1995

Al-Maududi, Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Karisma, 2007

Al-Maududi, Abul A’la. Towards Understanding Islam, translate and edited by Khurshid Ahmad, Pakistan: Islamic Publikations Limeted.

Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995

Ibrahim Syarif. Ahmad, Daraasat  fi al Hadlarat al Islamiyah, Kuwait: Darul Fikril ‘Arabi, 1981.

Bacharach. Jere L., a Midle East Studies Handbook, London: University of Washington Press.

Guillaume. Alfred, Islam, Penguin Books

Pulungan, J. Suyuti. Fiqh Siyasah; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999

Schacht, Joseph. Pengantar Hukum Islam, Jogjakarta: Islamika, 2003

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008



[1]A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayan Islam, Jakarta: Mutiara Sumber Wijaya, 1995, hal. 24
[2] Ibid
[3] Ibid, hal 27
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 42
[5] Ibid, Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan
[6] Ibid, Firmansyah, 2008
[7]Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Karisma, 2007, hal. 191
[8] Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, hal. 57
[9] Republika Newsroom, Sabtu, 14 Maret 2009, Bani Umayyah Memakmurkan Rakyat dengan Baitulmal, hal. 3
[10]Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2008, hal. 46
[11] Badri Yatim, hal. 44
[12] Ibid, Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah,
[13] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Jogjakarta: Islamika, 2003, hal. 39
[14] Ibid, hal. 172
[15] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hal. 170
[16] Ibid, A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam,
[17] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayan Islam, hal. 40
[18] Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, , hal. 46
[19] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, hal. 190
[20]Ibid, Abd. Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyah; Sejarah dan Pembaharuan Islam.
[21] Badri Yatim, hal. 45
[22] Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, , hal. 50
[23] Ibid
[24] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, hal. 175
[25] Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, hal. 31.
[26]Abd. Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyah; Sejarah dan Pembaharuan Islam, Surabaya: Anika Bahagia Offset, 1995. hal. 99
[27] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam , hal. 172
[28] Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, hal. 46
[29]J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, hal. 166