Laman

Rabu, 04 Agustus 2010

HISBAH

oleh. M. Ridho/SIAI-PPs.UIN.Malang/09750022

PENDAHULUAN
Hisbah, sebuah kata yang agak ganjil bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Walaupun, mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Hisbah merupakan cara pengawasan terpenting yang dikenal oleh umat Islam pada masa permulaan Islam yang menyempurnakan pengawasan pribadi yang mempunyai kelemahan, maka datanglah fungsi pengawas untuk meluruskan etika dan mencegah penyimpangan.[1]
  Sebenarnya, Hisbah menjadi sangat penting diorganisir dalam menjaga Hukum Allah agar tecapai kemaslatan umat, agar hukum Allah dapat di jalankan dan semua masyarakat mendapat ridhoNya. Tapi tidak hanya itu, hisbah juga menjaga kehormatan dari orang lain, dan menjamin keamanan publik. Hisbah juga memonitor keadaan pasar, adanya barang di pasar dan menjaga agar semua entitas yang ada dimasyarakat menjaga hukum Allah. Bahkan, sampai standar kualitas pun di jaga. Ini juga berkaitan dengan pemerintah yang dalam hal ini bertugas sebagai petugas hisbah atau regulator.
Hisbah merupakan departemen resmi yang dibentuk dengan tugas utamanya adalah melaksanakan amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat. Penegakan amar makruf dan nahi mungkar bertujuan untuk mewujudkan ketertiban sosial dan ketentraman hidup masyarakat. Setiap individu dalam masyarakat menghendaki adanya ketentraman, sayang mereka mengalami keterbatasan untuk bisa merealisasikan kehendak mereka. Keterbatasan disini dalam hal untuk memaksa dan juga tidak bisa main hakim sendiri. Dalam konteks seperti ini, keberadaan Negara sebagai pengatur ketertiban dan ketentraman hidup yang memiliki daya paksa dan hak untuk memberi sanksi menjadi amat signifikan.[2]
Sehubungan hal itu, Ibnu Taimiyah menulis, “kesejahteraan umat manusia tidak dapat diwujudkan kecuali di dalam suatu tata sosial dimana setiap orang tergantung satu sama lain. Masyarakat memerlukan seseorang untuk mengatur mereka… Perintah Allah swt. untuk menegakkan amar makruf dan nahi mungkar tidak akan dapat direalisasikan kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan.”

A.     DEFINISI DAN SEJARAH HISBAH DALAM ISLAM
1.       Definisi Hisbah
Hisbah berasal dari bahasa Arab, berakar kata ha-sa-ba yang mempunyai makna cukup bervariasi, seperti memperhitungkan, menaksir, mengkalkulasi, memikirkan, opini, pandangan dan lain-lain. Secara harfiyah (etimologi) hisbah berarti melakukan suatu tugas dengan penuh perhitungan. [3]
Sedangkan secara singkat Imam Al-Mawardy mendefenisikan bahwa secara etimologi berkisar pada memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar).[4] Sedangkan makna terminology adalah memerintahkan kebaikan apabila ada yang meninggalkannya dan melarang kemungkaran apabila ada yang mengerjakannya.[5]
Hisbah adalah sebuah institusi keagamaan di bawah kendali pemerintahan yang mengawasi masyarakat agar menjalankan kewajibannya dengan baik, ketika masyarakat mulai untuk mengacuhkannya dan melarang masyarakat melakukan hal yang salah, saat masyarakat mulai terbiasa dengan kesalahan itu. Tujuan umum nya adalah untuk menjaga lingkungan masyarakat dari kerusakan, menjaga takdir yang ada, dan memastikan kesejahteraan masyarakat baik dalam hal keagamaan ataupun tingkah laku sehari-hari sesuai dengan hukum Allah. [6]
Hisbah dapat diartikan sebagai lembaga normatif preventif karena fungsi pokoknya adalah menghimbau agar masyarakat melakukan kebaikan dan menjauhi kemungkaran. Namun demikian wilayah fungsi kontrol ini tidak sebatas bidang agama dan moral. Tetapi menurut Muhammad al-Mubarak melebar ke wilayah ekonomi dan secara umum bertalian dengan kehidupan kolektif atau publik untuk mencapai keadilan dan kebenaran menurut prinsip Islam dan dikembangkan menjadi kebiasaan umum pada satu waktu dan tempat. [7]
2.       Sejarah Hisbah dalam Islam
Tradisi hisbah diletakkan langsung fondasinya oleh Rasulullah saw, beliaulah Muhtasib (pejabat yang bertugas melaksanakan hisbah) pertama dalam Islam. Sering kali beliau masuk ke pasar Madinah mengawasi aktivitas jual beli. Suatu ketika Rasulullah mendapati seorang penjual gandum berlaku curang dengan menimbun gandum basah dan meletakkan gandum yang kering di atas, beliau memarahi penjual tersebut dan memerintahkan untuk berlaku jujur, "barangsiapa yang menipu maka ia tidak termasuk golongan kami. " Rasulullah setiap hari memantau pelaksanaan syari’at oleh masyarakat Madinah. Setiap pelanggaran yang tampak olehnya langsung mendapat teguran disertai nasihat untuk memperbaikinya. Bahkan Rasulallah memperkerjakan Sa’id bin Sa’id ibnul ‘Ash bin Umayyah untuk memantau dan mengawasi pasar Makkah, seperti yang disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr.[8]
Pelembagaan Hisbah dengan struktur yang lebih sempurna dimulai pada masa Umar bin Khattab. Umar ketika itu melantik dan menetapkan bahwa wilayatul hisbah adalah departemen pemerintahan yang resmi. Hisbah pada masa Umar bin Khattab mempuyai peran penting dalam pengawasan pasar dan kegiatan yang dilakukan didalamnya, yaitu kegiatan ekonomi. Ibnu Saad telah meriwayatkan dari Az Zuhri bahwa Umar bin Khattab telah mempekerjakan Abdullah bin ‘Utbah mengawasi dan memantau pasar. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr bahwa Umar kadangkala mempekerjakan Asyifa’ binti Abdullah ar-Qurasyiyah al-Adawiyah untuk mengurus sesuatu tentang urusan pasar. [9]
Tradisi ini dilanjutkan oleh dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Turki Usmany sampai akhirnya Wilayatul Hisbah menjadi lembaga yang mesti ada dalam setiap negara muslim. Pada masa kejayaan Islam di Andalusia, institusi pengawas syariat disebut dengan mustasaf, sekarang di kalangan masyarakat Spanyol dikenal dengan al-motacen. Setelah dinasti Turki Usmani runtuh, sulit dilacak negara Muslim yang masih mempraktikkan Wilayatul Hisbah , seiring dengan dikuasainya negara-negara muslim oleh kolonialisme, institusi ke-Islaman yang sebenarnya sudah mapan ini lambat laun hilang bersamaan dengan hilangnya berbagai institusi Islam lainnya.

B.      LANDASAN HUKUM
1.       Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 104:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf*, dan mencegah dari yang mungkar;mereka itulah orang-orang yang beruntung”

*Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

2.   Al-Qur’an Surat al-A’raaf:157
"(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung."

Maksudnya: dalam syari'at yang dibawa oleh Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan kisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis.

3.   Al-Qur’an Surat An-Nahl :90
 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

4.   Nabi Muhammad saw. bersabada:
“Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika ia tidak bisa, maka rubahlah dengan mulutnya. Jika ia tidak bisa juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”

Diriwayatkan oleh Anas:
Dari Abu Hurairah bahwa seseorang datang seraya mengatakan “Wahai Rasulallah, patoklah harga!” Beliau menjawab, “Biarkanlah.” Kemudian datanglah seseorang (yang lain) lalu mengatakan: “Wahai Rasulallah, patoklah harga!” Beliaupun menjawa, “tetapi Allah lah yang menurunkan dan menaikkan (harga). Sungguh saya berharap bertemu Allah dalam keadaan tidak seorangpun yang memiliki tuntutan kezhaliman kepadaku” HR. Abu Dawud, ath-Thabrani dan asy-Syaukani dalam Nailur Autar.

5.       Di Indonesia dalam kaitan dengan masalah pengawasan di bidang ekonomi (bisnis), apabila mengacu pada perundangan yang berlaku, antara lain diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selanjutnya juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Fungsi pengawasan yang diatur dalam kedua undang-undang ini menitikberatkan pada masalah pengawasan dalam bidang usaha (bisnis) dengan maksud agar kepentingan masyarakat, terutama konsumen, bisa terlindungi. Dengan demikian dilihat dari fungsi pokok yang dibebankan, secara substansial sama dengan fungsi pengawasan dalam institusi hisbah dalam Islam.[10]
Dengan adanya payung hukum yang menjamin kepastian hukum bagi masyarakat, maka para penegak hukum tidak akan merasa ragu dalam menjalankan tugasnya dalam upaya melindungi semua kepentingan masyarakat. Inilah sebenarnya ruh kelahiran institusi hisbah dalam Islam yang secara substansial sebenarnya mempunyai tujuan yang sama dengan perundang-undangan nasional yakni sama-sama ingin melindungi kepentingan masyarakat dari perilaku serakah sekelompok orang dalam belantara dunia usaha.[11]

C.     TUJUAN HISBAH DALAM ISLAM
Islam bertujuan untuk membawa stabilitas dan keamanan dalam lingkungan sosial dengan penuh cinta, dengan semua yang ada di sana bekerja dengan penuh kesungguhan dan sesuai dengan syariatnya. Semua manusia adalah khalifah Allah yang di tugaskan untuk memakmurkan bumi dan menjaga lingkungan dan semua yang dilakukan semata-mata adalah untuk Allah. Semata-mata intuk beribadah padanya. Seperti firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 :
Dan Aku tidak menciptakan  Jin dan Manusia kecuali untuk menyembahKu”
Manusia itu pusatnya lalai dan lupa, jadi manusia pada dasarnya adalah makhluk yang harus terus menerus di ingatkan. Dan Allah telah menyiapkan perangkat-pernagkat yang menjamin manusia untuk tetap lurus di jalanNya, yaitu dengan al-Qur’an dan Sunnah. Dan salah satu aplikasi dari al-Qur’an dan Sunnah adalah adanya lembaga Hisbah, lembaga yang siap untuk mengingatkan manusia ketika lalai dan menjaga kontinuitas kebajikan ketika manusia berbuat kebajikan.
Hisbah dalam kegiatan ekonomi mempunyai beberapa tujuan. Pengawasan pasar merupakan tugas pertama seorang Muhtasib (pengawas) pada masa permulaan Islam. Karena itu pembahasan ini dibagi menjadi dua, yaitu; (a) Tujuan-tujuan hisbah terhadap kegiatan ekonomi, dan (b) hisbah terhadap pasar.[12]
  1. Tujuan-tujuan hisbah terhadap kegiatan ekonomi
Tujuan hisbah dalam kegiatan ekonomi adalah untuk mewujudkan tujuan-tujuan berikut:
a.       Memastikan dijalankannya aturan-aturan kegiatan ekonomi
Peran pengawasan dari luar untuk mencegah orang-orang yang lalai untuk menjaga aturan-aturan kegiatan ekonomi. Aturan terpentingnya adalah:
-          Disyariatkannya kegiatan ekonomi
-          Menyempurnakan pekerjaan
-          Melawan penipuan
-          Tidak membahayakan orang lain
b.       Mewujudkan keamanan dan ketentraman
Keamanan dan ketrentraman merupakan menciptakan iklim investasi yang sesuai, dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi.
c.       Mengawasi keadaan rakyat
Menurut Umar bin Khattab tujuan hisbah adalah berjalan pada malam dan siang hari untuk mengetahui keadaan rakyat, mengetahui kebutuhan-kebutuhan mereka, dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.
d.       Melarang orang membuat aliran air tanpa adanya kebutuhan
Islam memerintahkan agar setiap orang berusaha mewujudkan ketercukupan untuknya dan ketercukupan untuk orang yang berada dalam tanggungannya dan tidak memperbolehkan orang yang mampu menjadi beban orang lain.
e.       Menjaga kepentingan umum
Kepentingan umum adalah kemaslahatan bagi umat, dimana umat tidak bisa terpisah dari kepentingan tersebut. Maka harus ada pengawasan terhadap kepentingan umum tersebut untuk menjaga dan melindunginya dari orang yang berbuat sia-sia.
f.        Mengatur transaksi di pasar
Pengawasan pasar dan mengatur persaingan di dalamnya. Yaitu dengan memerangi transaksi yang merusak persaingan tersebut.
  1. Tujuan hisbah terhadap Pasar
Pasar mempunyai peran yang besar dalam ekonomi. Karena kemaslahatan manusia dalam mata pencaharian tidak mungkin terwujud tanpa adanya saling tukar menukar. Pasar adalah tempat yang mempunyai aturan yang disisipkan untuk tukar menukar hak milik dan menukar barang antara produsen dan konsumen.
Tujuan terpenting dari pengawasan pasar dan aturan transaksi di dalamnya yaitu :
a.       Kebebasan keluar masuk pasar
Menurut Ibnu Taymiyah mekanisme pasar yang Islami salah satu kriterianya adalah orang-orang harus bebas untuk keluar dan masuk pasar. Memaksa penduduk menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban untuk menjual merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan dilarang.[13]
Kebebasan transaksi dan adanya persaingan yang sempurna di pasar Islam tidak terwujud selama halangan-halangan tidak dihilangkan dari orang-orang yang melakukan transaksi di pasar. Dalam pasar bersaing sempurna penjual tidak dapat menentukan harga barangnya, ia hanya mengikuti harga yang berlaku di pasar. Sebaliknya di pasar persaingan monolistik, penjual dapat menentukan harga barangnya karena barang yang dijualnya mempunyai keunikan. Keunikan inilah yang membuka peluang bagi penjual untuk menentukan harganya berbeda dengan harga lain di pasar.[14]
b.       Mengatur promosi dan propaganda
Tujuan pengawasan pasar adalah menunjukkan para pedagang tentang cara-cara promosi dan propaganda yang menyebabkan lakunya dagangan mereka. Dengan syarat dalam masyarakat Islam berdiri atas dasar kejujuran dan amanat dalam semua cara yang diperbolehkan untuk memperluas area pasar di depan barang yang siap dijual.
c.       Larangan menimbun barang
Penimbunan barang adalah halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Para pelaku monopoli mempermainkan barang yang dibutuhkan oleh umat dan manfaatkan hartanya untuk membeli barang, kemudian menahannya sambil menunggu naiknya harga barang itu tanpa memikirkan penderitaan umat karenanya. Perilaku ini dilarang oleh Islam. Nash yang menjelaskannya antara lain sabda Nabi Muhammad saw, bersabda:
“Tidak akan menimbun barang, kecuali orang yang salah”.
Dalam riwayat yang lain, Rasulallah bersabda:
“Barangsiapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, maka dia telah lepas dari Allah Ta’ala, dan Allah Ta’ala juga lepas darinya”.
Dalam al-Qur'an surat at-Taubah ayat 34 Allah berfirman:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Prinsipnya adalah seseorang tidak boleh menimbun hanya karena ingin memperoleh harga yang lebih tinggi. Dengan menahan dan menyembunyikan, sesungguhnya, menyebabkan seseorang menjadi lebih miskin dalam arti yang sebenarnya. Sebab dengan demikian miliknya tidak dapat digunakan orang lain di masa kekurangan. Sebagai upaya akhir sesungguhnya Negara Islam mempunyai wewenang untuk mencabut hak milik perusahaan spekulatif dan anti sosial dalam melakukan penimbunan. Tindakan tegas ini untuk mencegah kenaikan harga yang tidak semestinya.[15]
d.       Mengatur perantara perdagangan
Pedagang tidak lepas dari perantara yang masuk diantara penjual dan pembeli untuk memudahkan tukar-menukar barang. Hukum asal perantara perdagangan adalah disyariatkan diantara umat Islam tanpa ada perbedaan pendapat. Pekerjaan perantara ada sejak zaman Nabi, dan abad-abad utama. Pekerjaan umat Islam berjalan demikian sejak waktu itu sampai sekarang. Itu adalah pekerjaan yang yang kelihatan, dan tidak ada riwayat tentang pengingkarannya atau pengubahannya.
e.       Pengawasan harga
Sungguh elok kehidupan ekonomi yang diatur secara Islami, bila diterapkan dengan disiplin. Tidak akan pernah ada praktek-praktek yang tidak sehat dalam bisnis karena sejak Rasulallah telah melarangnya. Beliau tidak menganjurkan campur tangan apapun dalam proses penentuan harga oleh Negara ataupun individual, apalagi bila penentuan harga ditempuh dengan cara merusak perdagangan yang  fair antara lain melalui penimbunan barang.[16]
Pentingnya pengawasan harga tidak diragukan bahwa tingkat harga dianggap sebagai indikasi terbesar tingkat mata pencaharian, karena dia mempunyai pengaruh terhadap nilai mata uang.
Hukum menentukan harga apabila penguasa atau wakilnya atau siapa saja yang memimpin umat Islam memerintahkan pelaku pasar untuk tidak menjual barangnya kecuali dengan harga tertentu, maka dilarang menambah atau menguranginya untuk kemaslahatan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas:
Dari Abu Hurairah bahwa seseorang dating seraya mengatakan “Wahai Rasulallah, patoklah harga!” Beliau menjawab, “Biarkanlah.” Kemudian datanglah seseorang (yang lain) lalu mengatakan: “Wahai Rasulallah, patoklah harga!” Beliaupun menjawab, “tetapi Allah-lah yang menurunkan dan menaikkan (harga). Sungguh saya berharap bertemu Allah dalam keadaan tidak seorangpun yang memiliki tuntutan kezhaliman kepadaku” HR. Abu Dawud, ath-Thabrani dan asy-Syaukani dalam Nailur Autar.
Hadits tersebut dijadikan dalil yang menunjukkan bahwa sikap Negara disini adalah membiarkan pasar secara bebas sesuai factor-faktor alamiah tanpa cmapur tangan pihaknya yang memaksakan orang untuk menjual dengan harga yang tidak mereka setujui atau untuk membeli dengan harga yang tidak mereka terima.[17]
f.        Pengawasan barang yang diimpor
Pada masa Umar bin Khattab telah menunjuk para pengawas pasar. Diantara tugasnya adalah mengawasi barang yang diimpor dan mengambil Usyur (pajak 10%) dari barang tersebut dengan tingkatan yang berbeda sesuai pentingnya barang tersebut dan kebutuhan umat Islam kepadanya.[18]
Tujuan dibalik hisbah tidak hanya memungkinkan pasar dapat beroperasi secara bebas sehingga harga, upah dan laba dapat ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran (yang terjadi dalam negara kapital), melainkan juga untuk menjamin bahwa semua agen ekonomi dapat memenuhi tugasnya antara satu sama lain dan mematuhi ketentuan syariat.[19]

D.     PERAN LEMBAGA HISBAH DALAM PEREKONOMIAN ISLAM
Seperti diketahui dalam sejarah Islam, terdapat suatu lembaga yang dinamakan hisbah, yang tugasnya adalah memantau, mengawasi praktik-praktik kegiatan perekonomian yang tidak sesuai dengan kaidah al-Qur’an dan Hadist. Lembaga ini dapat membimbing jalannya kehidupan masyarakat kearah sesuai dengan al-Qur’an dan Hadist. Sehingga masalah kemiskinan dapat terpecahkan. Memang masalah kemiskinan adalah karena tidak dilakukannya kegiatan perekonomian sebagaimana yang diatur dalam al-Qur’an dan Hadist.[20]
Hisbah mempunyai peran yang sangat penting dalam Ekonomi, yaitu:
1.   Standarisasi Mutu yang cukup tinggi
Ketika ada Hisbah, maka masyarakat pedagang harus menyediakan barang terbaiknya! karena hisbah juga mengatur tentang mutu barang yang ada di masyarakat. Ketika ada penipuan atau kecurangan mutu barang yang dilakukan oleh produsen dan mendzalimi konsumen, maka petugas hisbah siap bertindak. Kualitas Barang harus sesuai dengan harga yang di tetapkan produsen dan yang dijanjikan oleh produsen kepada konsumen. Produsen pun tidak bisa menjiplak karya produsen lain, karena dengan adanya peniruan dalam karya produksi akan menyebabkan kerugian baik bagi produsen yang punya hak cipta atau bagi masyarakat pengguna. Dan jelas, penjiplakan yang mendzolimi dilarang dalam Islam.
2.   Regulasi perdagangan lebih teratur.
Karena Hisbah mempunyai pengawas yang siap mengawasi setiap kezaliman dalam perdagangan, maka masyarakat akan cenderung hati-hati dalam berdagang. Apalagi ada dasar Al-Qur’an dan ketakutan yang tinggi pada Allah menjadikan masyarakat lebih jujur dalam berdagang, lebih jujur dalam menyediakan supply barang, tidak ada lagi penimbunan barang yang membuat peningkatan harga di masyarakat. Sehingga kurva permintaan dan penawaran akan selalu  berada dalam kondisi Equilibrium. Regulasi di tingkat birokrat juga akan lebih mudah dan menguntungkan ketika ada Hisbah. Karena Hisbah ada di bawah pemerintah, dan ketika ada orang pemerintahan yang berani main api maka hukumannya akan lebih berat.
3.   Terhindarnya ekonomi biaya tinggi
Dengan regulasi yang teratur, akan menyebabkan biaya yang tercipta rendah! karena tidak ada uang pungutan liar sana-sini yang biasa di pungut oleh pihak birokrat ataupun orang-orang yang ingin mengambil keuntungan diatas penderitaan orang lain.
4.   Harga yang terbentuk di masyarakat tidak akan mendzalimi Masyarakat.
Bila suatu Negara Islam mempunyai hak untuk mengontrol dan mengatur harga dan keuntungan monopoli. Dengan demikian harga-harga maksimum dapat diatur. Kalau perlu nasionalisasi dari perusahaan yang mempunyaji hak monopoli dilindungi sebagai langkah ekstrim karena menurut al-Qur'an seorang pemilik yang sah dari perusahaan bukanlah satu-satunya orang yang bisa menggunakannya. Mereka yang memerlukan semua kekayaannya adalah karunia Allah dan diperoleh melalui penggunaan sumber-sumber yang telah dianugerahkan Tuhan untuk kepentingan umat manusia (Q.S. Adz. Dzariyat, 51:20).[21] Dengan adanya Hisbah akan ada pelindung masyarakat dari harga yang mencekik yang umumnya di lakukan oleh perusahaan yang bermain secara monopoli. Atau sebaliknya, Muhtasib juga bisa mencegah seseorang atau perusahaan yang masuk ke pasar dengan harga yang sangat rendah sehingga merugikan pemain lain yang ada dalam pasar tersebut. Bahkan dengan adanya biaya relative rendah dalam produksi harus menyebabkan produsen memberikan harga yang wajar.
5.   Kesejahteraan Masyarakat akan lebih merata
Ketika barang yang dibutuhkan masyarakat hadir secara cukup dengan harga yang layak, akan membuat masyarakat jauh dari kemiskinan dan dekat dengan kesejahteraan. Pendapatan dan kepemilikan barang akan cenderung merata atau distribusi merata. Sehingga gap atau kecemburuan sosial dapat di cegah dan sangat sedikit presentasenya, bahkan nol.
6.   Perdagangan di Dunia Internasional lebih menguntungkan
Karena kita memiliki barang yang baik dan berkualitas, cara yang baik atau ahsan dalam berdagang, maka kita akan lebih mudah dalam mendapatkan keuntungan di dunia Internasional. Karena memang fitrah manusia menyukai jika di berikan yang terbaik.
7.   Kecerdasan masyarakat dalam Ekonomi
Yang berperan di Hisbah tidak hanya petugas hisbah saja, namun juga masyarakat umum. Karena pengaduan akan kedzoliman bisa saja di lakukan oleh masyarakat umum. Secara tidak langsung, masyarakat di buat untuk lebih punya pemahaman dalam hal ekonomi dan bisnis, agar tidak mudah untuk di dzolimi dan agar bisa membantu anggota masyarakat lain yang sedang terdzolimi.
8.   Pemain yang berada di Perdagangan adalah yang terbaik
Ketika hal nomor 1-7 diatas berlangsung dengan baik, maka akan sangat jelas terlihat oleh masyarakat siapa yang jujur dalam berdagang dan siapa yang curang. Karena dalam hisbah sendiri, prinsip akuntabilitas dan keterbukaan berjalan dengan baik -seharusnya. Bagi yang curang, maka akan ada hukuman baik dari pihak hisbah maupun hukuman moral dalam masyarakat. Sehingga akhirnya, hanya yang terbaiklah yang bisa bertahan dalam pasar.
Di Indonesia peluang Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang membimbing dan menjaga moral bangsa adalah sangat penting. Oleh karena itu, peran MUI dalam ekonomi syariah juga sangat penting. Banyak praktik ekonomi dan perdagangan yang belum disinggung dalam fatwa-fatwa oleh MUI. Fatwa-fatwa MUI belakangan ini lebih menekankan aspek moral serta fikih di luar bidang ekonomi walaupun bidang ini sekarang mulai mendapat perhatian yang lebih besar dibandingkan di masa lalu. Sekarang sudah ada Dewan Syariah Nasional.[22]
Sehubungan dengan hal tersebut, maka usaha untuk menghidupkan lembaga hisbah dalam kegiatan perekonomian merupakan suatu hal perlu dilakukan. Paling tidak dalam usaha untuk memperbaiki berbagai macam praktik kegiatan perekonomian yang tidak sesuai dengan syariat.

E.      “MUHTASIB” PEJABAT INSTITUSI HISBAH DALAM ISLAM
Upaya Negara untuk menjamin kemaslahatan, keadilan dan permainan junur di semua lini kehidupan direfleksikan dalam institusi hisbah, yang dicerminkan oleh Rasulallah saw.. Dalam Islam, kewajiban menyeru itu adalah kewajiban setiap muslim. Hisbah adalah sebuah institusi yang menjaga amar makruf dan menjauhi kemungkaran. Hisbah dalam cakupan yang luas, mengatur segala jenis hal dalam kehidupan kemasyarakatan. Termasuk ekonomi di dalamnya. Ketika Hisbah berdiri tegak dengan perangkat-perangkatnya, maka Ekonomi dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan syariatNya.
Subyek pelaku, dalam hal ini pejabat yang bertanggungjawab atas lembaga hisbah ini disebut Muhtasib. Seorang Muhtasib adalah orang yang diangkat oleh penguasa atau wakilnya untuk memonitor urusan rakyat, melihat kondisi mereka dan melindung kemaslahatannya.[23] Persyaratan seorang Muhtasib harus memiliki integritas moral yang tinggi dan kompeten dalam masalah hukum, pasar dan urusan industrial. Pejabat Hisbah punya standarisasi dan orang-orang terpilihlah yang akan menjalankan tugas sebagai petugas Hisbah.[24]
Muhtasib harus mampu mengambil keputusan setiap tempat dan setiap waktu. Muhtasib haruslah orang yang paham terhadap Islam atau Faqih. Dan paham terhadap masalah yang di hadapi. Muhtasib haruslah orang yang membela kepentingan umum. Sifat-sifat seorang pemimpin juga mutlak di miliki, karena ia harus bijak dalam melihat masalah dan mengambil keputusan .
Muhtasib adalah pihak pertengahan antara hakim dengan wali pidana. Korelasi antara muhtasib dengan hakim/qodi ialah adanya kesamaan di antara keduanya dalam dua hal. Dua kesamaan antara muhtasib dengan hakim, kedua-duanya diperbolehkan dimintai pertolongan, mendengar dakwaan. Dalam hal ini keputusan muhtasib tidak berlaku umum pada semua dakwaan, namun hanya berlaku dalam tiga dakwaan, yaitu: (1) dakwaan yang terkait dengan kecurangan dan pengurangan dalam takaran atau timbangan, (2) penipuan dalam komoditi dan harga, dan (3) penundaan dalam pembayaran hutang.[25]
Tugas menjadi Muhtasib adalah tugas yang berat. Tugas dimana segala sesuatu harus dijalankan dengan komprehensif. Muhtasib haruslah orang yang paham dalam kehidupan sosial terutama perdagangan atau perekonomian Bahkan DR. Mukhtar Holland, yang menterjemahkan dari Buku Imam Ibnu Taymiyah : Tugas Umum dalam Islam (Institusi Hisbah) yang di publikasikan pada tahun 1983 membagi tugas Muhtasib dalam dua bagian:
(a) Mengatur Ekonomi secara Islami Sesuai dengan al-Qur’an, Hadist dan Ijtihad, Ijma para ulama,
(b) Menegakkan Keadilan Sosial  Keadilan bagi semua, bagi muslim maupun non muslim.
Diantara tujuan muhtasib (pengawas) adalah berusaha mewujudkan keamanan dan ketentraman serta memberantas segala tanda-tanda kerusakan keduanya.[26] Derajat Pengukuran Hisbah; ada 10 (sepuluh) tingkatan tindakan Muhtasib menurut Imam Abu Hamid Al Ghazali yang harus dilakukan dengan benar dan penuh kesungguhan, yaitu:
1.   Mencari tahu tentang kemungkaran tanpa harus memata-matai atau memaksa orang untuk memberi informasi.
2.   Menasihati orang yang berbuat kedzaliman tsb sebelum memberi hukuman.
3.   Melarang dan menasihati dengan kata-kata.
4.   Menggiatkan untuk takut yang sebenarnya pada Allah SWT
5.   Mengingatkan dengan keras ketika kata-kata lembut sudah tidak mempan
6.   Usahakan untuk membuat kemungkaran di jauhi secara fisik
7.   Mewaspadai hal-hal yang mungkin akan buruk di masa yang bentar lagi datang, apalgi jika si pembuat kemungkaran belum sadar.
8.   Menjatuhi Hukuman Fisik tanpa menggunakan senjata untuk menghindari kerusakan atau darah tertumpah.
9.   Menggunakan senjata yang cocok mengindikasikan ada tindakan serius yang akan di ambil.
10.  Untuk memaksa regulasi, bisa lewat bantuan polisi juga untuk menuntut si pelaku kemungkaran dalam sistem konvensional ketika perangkat-perangkat sudah tegak dalam penerapan  Hisbah, maka Hisbah akan sangat berperan dalam hal ekonomi.

KESIMPULAN

Hisbah akhirnya menjadi sebuah institusi yang menentramkan bagi kehidupan perekonomian masyarakat. Memang benar, bahwa segala sesuatu yang di gariskan oleh Allah dalam Firmannya dan yang disunnahkan oleh Rasulullah akan membawa ketenangan batin tersendiri. Hisbah memang ada dalam literature Islami, namun ada sekitar 75 negara yang tidak Islami telah yang menggunakan metode yang seperti Hisbah. Meski negara yang menerapkan metode seperti Hisbah ini dasarnya bukan al-Qur’an, namun mereka merujuk pada nilai-nilai yang al-Qur’an ajarkan, yaitu Keadilan bagi setiap insan.
Di Indonesia sendiri, Hisbah baru di terapkan di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), karena NAD memang sudah menerapkan syariat Islam. Penduduk Indonesia mayoritas adalah Muslim, sudah selayaknya Hisbah di terapkan. Tapi harus di akui, bahwa Indonesia memiliki perangkat yang kurang bahkan sangat kurang untuk menerapkan hisbah ini. Banyak hal yang bisa dilakukan (tanpa harus menunggu lahirnya lembaga hisbah) untuk berada dalam pemerintahan, adalah peran Dewan Syariah Nasional dan MUI sangat diharapkan, mengingat kemungkaran dalam kegiatan perekonomian sangat memprihatinkan. Maka  perlu membuat skala prioritas tentang hal-hal yang perlu ditangani dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Contohnya, lembaga hisbah menjadi semacam NGO atau LSM yang mengawasi dalam bidang ekonomi. Hal ini sepertinya sudah di terapkan atau minimal menjadi wacana bagi Negara-negara tetangga. Terbentuknya lembaga Hisbah dalam pemerintahan di Indonesia sebagai target di masa yang akan datang, yang menjamin berlakunya norma-norma Islami dari para pelaku ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Al Mawardi. Imam, Al Ahkam As Sulthaniyah; Prinsip-prinsip Penyeleggaraan Negara Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2000)

Chapra. M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2001)

Djakfar. Muhammad, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional Dengan Syari’ah, (Malang: Uin Malang Press, 2009)

Idris & Titik Triwulan Tutik, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka Publisher, 2009)

Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khattab, terj. Asmuni Zamakhsyari. Solihan, (Jakarta: Khalifa, 2006)

Jusmaliani dkk, Kebijakan Ekonomi dalam Islam, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005)

Karim. Adiwarman A., Ekonomi Islam, suatu kajian kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)

Karim. Adiwarman A., Ekonomi Mikro islami,edisi ketiga, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007)

Mannan. M.A., Ekonomi Islam: teori dan praktek, terj. Potan Arif Harahap, (Jakarta: Intermasa, 1992)

Salim GB. M. Arskal, Etika Intervensi Negara; Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Logos, 1999)

Qardhawi. Yusuf, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, terj. Didin Hafidudin dkk, (Jakarta: Robbani Press, 1997)


[1]Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khattab, ter. Asmuni Solihan Zamakhsyari, (Jakarta: Khalifa, 2006) hal. 587
[2] M. Arskal Salim GB, Etika Intervensi Negara; Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 114
[3] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional Dengan Syari’ah, Malang: Uin Press, 2009, hal. 409
[4] Imam Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah; Prinsip-prinsip Penyeleggaraan Negara Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2000) hal. 398
[5] Ibid, Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, hal. 587
[6] Kaukabus Syarqiyah, 2009, Hisbah Dan Peranannya Dalam Ekonomi, (http://ekisonline. com/index. php? , diakses 9 Maret 2010)
[7] Ibid, Muhammad Djakfar, hal. 410
[8] Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, ter. Didin Hafidudin dkk, (Jakarta: Robbani Press, 1997) hal. 462
[9] ibid
[10] Ibid, Muhammad Djakfar, hal. 415
[11] Ibid, hal. 423
[12] Ibid, Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, hal. 591
[13] Idris & Titik Triwulan Tutik, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka Publisher, 2009), hal. 130
[14] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro islami; edisi ketiga, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 171
[15] M.A. Mannan, Ekonomi Islam: teori dan praktek, terj. Potan Arif Harahap, (Jakarta: Intermasa, 1992), hal. 157
[16] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam, suatu kajian kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 154
[17] Ibid, Yusuf Qadhrawi, hal. 465
[18] Ibid, Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, hal. 618
[19] M. Umer Chapra, Masadepan Ilmu Ekonomi, sebuah tinjauan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 64
[20] Jusmaliani dkk, Kebijakan Ekonomi dalam Islam, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal. 223
[21] M.A. Mannan, hal. 154
[22] Ibid, Kebijakan Ekonomi dalam Islam, hal. 224
[23] Ibid, M. Umer Chapra.
[24] Ibid, Muhammad Djakfar, hal. 411
[25] Ibid, Imam Al Mawardi, hal. 400
[26] Ibid, Jabirah bin Ahmad Al-aritsi, hal. 595                                                                                                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar